BAB II
A. Pengertian Etika Islam dan Ilmu Pengetahuan.
1.
Etika
Islam
secara terminologi, beberapa ahli
menguraikan definisi etika sebagai berikut:
1) Mulyadhi
Kartanegara:
“Etika adalah filsafat moral atau ilmu akhlak,
tidak lain daripada ilmu atau “Seni” hidup (the art of living) yang mengajarkan
bagaimana cara hidup bahagia, atau bagaimana memperoleh kebahagiaan. Etika
sebagai seni hidup etika sebagai pengobatan spiritual.
2) Ahmad
Amin:
“Etika adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti
baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia
kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan
mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.
3) Poedjawiyatna
mengatakan bahwa:
“Tindakan mungkin juga dinilai
sebagai baik atau lawannya, ialah buruk. Kalau tindakan manusia dinilai atas
baik-buruknya, tindakan itu seakan-akan keluar dari manusia, dilakukan dengan
sadar atas pilihan, dengan satu perkataan: sengaja. Faktor
kesengajaan ini mutlak untuk penilaian baik-buruk, yang disebut etis atau
moral.
4) Sudarsono:
“Etika adalah ilmu yang membahas
perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh
pikiran manusia. Etika disebut pula akhlak atau disebut pula moral. Apabila
disebut “akhlaq” berasal dari bahasa arab. Apabila disebut “moral” berarti adat
kebiasaan
Secara
etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethikos, ethos
(adat, kebiasaan, praktek). Sebagaimana digunakan Aristoteles istilah ini
mencakup ide “karakter” dan “disposisi” (kecondongan). Kata moralis
diperkenalkan ke dalam kosa kata filsafat oleh Cirero. Baginya kata ini
ekuivalen dengan kata ethikos yang diangkat oleh Aristoteles. Kedua
istilah itu menyiratkan hubungan dengan kegiatan praktis.
Sedangakan menurut Islam sendiri Etika adalah “Akhlak”. Akhlak atau etika
Islam lebih bersifat berkisar sekitar Tuhan. Karena dalam Islam, etika lebih
dikaitkan dengan pahala dan dosa.
Etika
Islam merupakan bentuk frasa dan pemikiran yang muncul dalam diri kaum muslim itu sendiri. Munculnya etika Islam didasarkan pada Al-Qur’an dan
As-Shunnah. Etika Islam dalam penerapan Bidang Ilmu kini mendapat implikasi
negative, dikarenakan perbedaan agama,
budaya dan gaya hidup dari negara-negara Barat yang menjadi produsen ilmu
tersebut. Sebab paradigma
dan pelaksanaan komunikasi Barat yang lebih mengoptimalkan nilai-nilai
pragmatis, materialistis serta penggunaan media secara kapitalis.
Etika Islam dalam Ilmu Pengetahuan yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini terutama
menyangkut teori dan prinsip-prinsip etika Islam, serta pendekatan Islam tentang Ilmu Pengetahuan. Titik penting
munculnya aktivisme dan pemikiran mengenai etika Islam ditandai dengan terbitnya beberapa media social, sebut saja salah satunya Friendster. Ini semakin menunjukkan jati diri etika seorang muslim
yang tengah mendapat perhatian dan sorotan masyarakat tidak saja di belahan
negara berpenduduk Muslim tetapi juga di negara-negara Barat. Isu-isu yang
dikembangkan dalam media sosial tersebut menyangkut Islam dan komunikasi yang
meliputi perspektif Islam terhadap media, pemanfaatan media massa pada era
pascamodern, kedudukan dan perjalanan media massa di negara Muslim serta
perspektif politik terhadap Islam dan Ilmu Pengetahuan.
Etika
Islam yang berfokus pada ayat-ayat Al-Qur’an yang dikembangkan
oleh para pemikir Muslim. Tujuan akhirnya adalah menjadikan etika Islam sebagai landasan utama dalam penerapan Ilmu Pengetahuan, terutama dalam menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan yang bersesuaian dengan fitrah penciptaan manusia. Kesesuaian
nilai-nilai Al-Qur’an dengan
dimensi penciptaan fitrah kemanusiaan itu memberi manfaat terhadap
kesejahteraan manusia sejagat. Sehingga dalam perspektif ini, etika Islam merupakan
proses penyaringan atau tukar menukar
informasi yang menggunakan prinsip dan kaedah etika islam dalam Alquran. Etika Islam dengan demikian dapat didefenisikan sebagai
proses penyaringan nilai-nilai Islam
dari komunikator/produktor kepada komunikan/konsumen dengan menggunakan prinsip-prinsip etika yang sesuai dengan
Alquran dan Hadis.
Dalam
Islam, prinsip etika merupakan hak eksklusif dan bahan komoditi yang
bersifat memikat, tetapi ia memiliki norma-norma dan moral imperatif
yang bertujuan sebagai service membangun kualitas manusia secara paripurna.
Jadi Islam meletakkan inspirasi tauhid sebagai parameter pengembangan teori ilmu pengetahuan dan
Alquran menyediakan seperangkat aturan dalam prinsip dan tata beretika dalam penerapan ilmu pengetahuan.
Dalam masalah
ketelitian menerima Penemuan Sains dan Teknologi, Alquran misalnya memerintahkan untuk melakukan check
and recheck terhadap informasi yang diterima. Dalam surah al-Hujurat ayat 6
dikatakan
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ
إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا
بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ ٦
6. Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti
agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Oleh karena itu, penerapan etika islam dalam menanggapi perkembangan ilmu Pengetahuan sangat di perlukan, agar terciptanya
masyarakat muslim yang madani dan tidak terlalu jauh menikmati kefaanaan alam
dunia ini. Selain itu, proses pendidikan
Islam juga merupakan rangkaian usaha membimbing, mengarahkan, potensi hidup manusia
yang berupa kemampuan-kemampuan dasar
dan kemampuan belajar, sehingga terjadilah perubahan dalam kehidupan pribadinya
sebagai makhluk individual, dan sosial serta dalam hubungannya dengan alam
sekitar dimana nilai- nilai Islam, yaitu nilai-nulai yang melahirkan norma-norma syariah dan akhlak karimah.
Tujuan
kependidikan Islam adalah merupakan penggambaran nilai-nilai Islami yang hendak
diwujudkan dalam pribadi manusia, dengan istilah lain tujuan pendidikan Islam
perwujudan nilai-nilai Islami dalam diri manusia didik. Jadi kesanalah pendidikan Islam seharusnya diarahkan, agar pendidikan
Islam tidak hanyut terbawa arus modernisasi dan kemajuan IPTEK.
2. Pengertian Ilmu Pengetahuan
Berdasarkan
sudut pandang filsafat ilmu, pengetahuan dan ilmu pengetahuan mempunyai makna
yang berbeda. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia melalui
pancaindra. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang telah disusun,
diklasifikasikan, dan diverifikasi sehingga menghasilkan kebenaran objektif dan
dapat diuji ulang secara ilmiah. Dalam Al-Quran ilmu digunakan dalam proses
pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan sehingga memperoleh kejelasan.
Sedangkan Ilm
dari segi etimologi berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari
akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas
tentang sesuatu.
Menurut az-Zubardi, terjadi perdebatan panjang tentang istilah ‘ilm sehingga
sekelompok pakar berpendapat bahwa ‘ilm tidak dapat didefinisikan karena
kejelasannya. Ada pula yang mengatakannya karena sulitnya (mendefinisikannya).
Demikian pula dengan pendapat-pendapat lain, dengan segala kelebihan dan
kekurangannya, seperti disebutkan oleh Imam Abul hasan al-Yusi dalam kitab Qanun
ul-‘Ulum.
Al-Manawi dalam kitab at-Taiqif berkata, “ilmu adalah keyakinan
kuat yang tetap sesuai dengan realita. Bisa juga berarti sifat yang membuat
perbedaan tanpa kritik. Atau, ilmu adalah tercapainya bentuk sesuatu dalam
akal.
Imam Raghib al-Ashfahani dalam kitabnya, Mufradat al-Qur’an,
berkata, “ilmu adalah mengetahui sesuatu sesuai dengan hakikatnya. Ia terbagi
dua: pertama, mengetahui inti sesuatu itu (oleh ahli logika dinamakan thasawwur).
Kedua, menghukum adanya sesuatu pada sesuatu yang ada, atau menafikan sesuatu
yang tidak ada (oleh ahli logika dinamakan tashdiq, maksudnya mengetahui
hubungan sesuatu dengan sesuatu).
Raghib al-Ashfahani membagi ilmu dari sisi lain, yakni menjadi ilmu
teoritis dan aplikatif. Ilmu teoritis berarti ilmu yang hanya membutuhkan
pengetahuan tentangnya. Jika telah diketahui berarti telah sempurna, seperti
ilmu tentang keberadaan dunia. Sedangkan, ilmu aplikatif adalah ilmu yang tidak
sempurna tanpa dipraktekkan, seperti limu tentang ibadah, akhlak, dan
sebagainya.
Selanjutnya ar-Raghib menjelaskan, dari sudut pandang lainnya ilmu dapat
pula dibagi menjadi dua bagian: Ilmu rasional dan doktrinal. Ilmu rasional
adalah ilmu yang didapat dengan akal dan penelitian, sedangkan ilmu doktrinal
merupakan ilmu yang didapat dengan pemberitaan wahyu
B.
Ilmu dan Kemanusiaan
a) Syarat-syarat
Ilmu
Dari
sudut pandang filsafat, ilmu lebih khusus dibandingkan dengan pengetahuan.
Suatu pengetahuan dapat dikategorikan sebagai ilmu apabila memenuhi tiga unsur
pokok sebagai berikut:
1) Ontologi artinya bidang studi yang bersangkutan memiliki obyek studi yang jelas. Obyek studi harus dapat diidentfikasikan, dapat diberi batasan, dapat diuraikan, sifat-sifatnya yang esensial. Obyek studi sebuah ilmu ada dua yaitu obyek material dan obyek formal.
2) Epistimologi artinya bidang studi yang bersangkutan memiliki metode kerja yang jelas. Ada tiga metode kerja suatu bidang studi yaitu metode deduksi, induksi dan induksi.
3) Aksiologi artinya bidang studi yang bersangkutan memiliki nilai guna atau kemanfaatannya. Bidang studi tersebut dapat menunjukkan nilai-nilai teoritis, hukum-hukum, generalisasi, kecenderungan umum, konsep-konsep dan kesimpulan-kesimpulan logis, sistematis dan koheren. Dalam teori dan konsep terseubut tidak terdapat kerancuan atau kesemerawutan pikiran, atau penetangan kondtradiktif diantara satu sama lainnya.
1) Ontologi artinya bidang studi yang bersangkutan memiliki obyek studi yang jelas. Obyek studi harus dapat diidentfikasikan, dapat diberi batasan, dapat diuraikan, sifat-sifatnya yang esensial. Obyek studi sebuah ilmu ada dua yaitu obyek material dan obyek formal.
2) Epistimologi artinya bidang studi yang bersangkutan memiliki metode kerja yang jelas. Ada tiga metode kerja suatu bidang studi yaitu metode deduksi, induksi dan induksi.
3) Aksiologi artinya bidang studi yang bersangkutan memiliki nilai guna atau kemanfaatannya. Bidang studi tersebut dapat menunjukkan nilai-nilai teoritis, hukum-hukum, generalisasi, kecenderungan umum, konsep-konsep dan kesimpulan-kesimpulan logis, sistematis dan koheren. Dalam teori dan konsep terseubut tidak terdapat kerancuan atau kesemerawutan pikiran, atau penetangan kondtradiktif diantara satu sama lainnya.
b) Sumber
Ilmu Pengetahuan
Dalam pemikiran Islam ada dua sumber
ilmu yaitu akal dan wahyu. Keduanya tidak boleh dipertentangkan, karena manusia
diberi kebebasan dalam mengembangkan akal budinya berdasarkan tuntutan
al-Qur’an dan sunnah rasul. Atas dasar itu, ilmu dalam pemikiran Islam ada yang
bersifat abadi (perennial knowledge) dan tingkat kebenarannya bersifat mutlak
(absolute) karena bersumber dari wahyu Allah dan ilmu yang bersifat perolehan
(aquired knowledge) tingkat kebenarannya bersifat nisbi (relative) karena
bersumber dari akal pikiran manusia.
Maka dari itu tidak ada istilah final dalam suatu produk ilmu pengetahuan, sehingga setiap saat selalu terbuka kesempatan untuk melakukan kjian ulang atau perbaikan kembali.
Maka dari itu tidak ada istilah final dalam suatu produk ilmu pengetahuan, sehingga setiap saat selalu terbuka kesempatan untuk melakukan kjian ulang atau perbaikan kembali.
Kedua sumber ilmu tadi akan
dijelaskan sebagai berikut:
1) Sumber ilmu dari Allah SWT atau Wahyu
Ilmu yang bersumber pada agama atau Allah SWT diturunkan kepada manusia melalui para Rasul-Rasul Allah, berupa wahyu Allah yang diabadikan dalam kitab suci masing-masing diantaranya:
a. Zabur (mazmur), kitab Nabi Daud as.
b. Taurat (thorah), kitab Nabi Musa as.
c. Injil, kitab Nabi Isa al-masih as.
d. Al-Quranul karim, kitab Nabi Muhammad SAW.
2) Sumber ilmu dari akal atau Filsafat
Semua ilmu pengetahuan yang kita kenal sekarang ini bersumber dari Filsafat (Philosophia), yang dianggap sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan. Filsafat pada masa itu mencakup pula segala pemikiran mengenai masyarakat. Lama-kelamaan sejalan dengan perkembangan zaman dan tumbuhnya peradaban manusia, berbagai ilmu pengetahuan yang semula tergabung dalam filsafat, memisahkan diri dan berkembang mengejar tujuan masing-masing. Dalam islam kita juga mengenal banyak ilmuwan-ilmuwan atau para filosof misalnya, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i, dan Imam Hambali adalah tokoh islam dalam bidang ilmu fiqih, Abu Hasan Al Asy'ari adalah tokoh ilmuwan muslim di bidang ilmu tauhid, Imam Ghazali adalah tokoh yang terkenal dalam bidang ilmu tafsir, ilmu fiqih, ilmu filsafat, dan ilmu akhlak, Ibnu Sina adalah tokoh dalam bidang kedokteran dan filsafat, Al Biruni adalah ahli dalam ilmu fisika dan ilmu astronomi, Jabir ibn Hayyan adalah ahli kimia dari kalangan kaum muslimin, Al Khawarizmi di bidang matematika dan Al Mas'udi yang terkenal sebagai ahli geografi serta sejarah.
Dari berbagai ragam ilmu pengetahuan yang berinduk dari filsafat tersebut pada garis besarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu:
a. Ilmu-ilmu Alamiah (Natural Sciences), yang meliputi fisika, kimia, astronomi, biologi, botani dan sebagainya.
b. Ilmu-ilmu Sosial (Social Sciences), yang terdiri dari sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, politik, sejarah, hukum dan sebagainya.
c. Ilmu-ilmu budaya (Humanities), yang terdiri dari cinta kasih, agama, ilmu, budaya, kesenian, bahasa, kesusastraan dan sebagainya.
1) Sumber ilmu dari Allah SWT atau Wahyu
Ilmu yang bersumber pada agama atau Allah SWT diturunkan kepada manusia melalui para Rasul-Rasul Allah, berupa wahyu Allah yang diabadikan dalam kitab suci masing-masing diantaranya:
a. Zabur (mazmur), kitab Nabi Daud as.
b. Taurat (thorah), kitab Nabi Musa as.
c. Injil, kitab Nabi Isa al-masih as.
d. Al-Quranul karim, kitab Nabi Muhammad SAW.
2) Sumber ilmu dari akal atau Filsafat
Semua ilmu pengetahuan yang kita kenal sekarang ini bersumber dari Filsafat (Philosophia), yang dianggap sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan. Filsafat pada masa itu mencakup pula segala pemikiran mengenai masyarakat. Lama-kelamaan sejalan dengan perkembangan zaman dan tumbuhnya peradaban manusia, berbagai ilmu pengetahuan yang semula tergabung dalam filsafat, memisahkan diri dan berkembang mengejar tujuan masing-masing. Dalam islam kita juga mengenal banyak ilmuwan-ilmuwan atau para filosof misalnya, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i, dan Imam Hambali adalah tokoh islam dalam bidang ilmu fiqih, Abu Hasan Al Asy'ari adalah tokoh ilmuwan muslim di bidang ilmu tauhid, Imam Ghazali adalah tokoh yang terkenal dalam bidang ilmu tafsir, ilmu fiqih, ilmu filsafat, dan ilmu akhlak, Ibnu Sina adalah tokoh dalam bidang kedokteran dan filsafat, Al Biruni adalah ahli dalam ilmu fisika dan ilmu astronomi, Jabir ibn Hayyan adalah ahli kimia dari kalangan kaum muslimin, Al Khawarizmi di bidang matematika dan Al Mas'udi yang terkenal sebagai ahli geografi serta sejarah.
Dari berbagai ragam ilmu pengetahuan yang berinduk dari filsafat tersebut pada garis besarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu:
a. Ilmu-ilmu Alamiah (Natural Sciences), yang meliputi fisika, kimia, astronomi, biologi, botani dan sebagainya.
b. Ilmu-ilmu Sosial (Social Sciences), yang terdiri dari sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, politik, sejarah, hukum dan sebagainya.
c. Ilmu-ilmu budaya (Humanities), yang terdiri dari cinta kasih, agama, ilmu, budaya, kesenian, bahasa, kesusastraan dan sebagainya.
c) Batasan
pengembangan Ilmu Pengetahuan dalam islam
a. Al-Quran
b. Hadist
c. Ijtihad
Orang yang melakukan ijtihadnya dengan benar (para mujtahid) akan mendapat dua pahala.
Seni akan menjadi haram jika:
a. Seni suara dan seni musik (membuat orang lupa akan Allah), Al-Khamr (minuman arak) , dan al-qainat (penyanyi cabul).
b. Seni rupa (gambar, terutama patung), yang ada hubungannya dengan jiwa kemusyrikan dan penyembahan berhala. Pelukisan Tuhan merupakan menyekutukanNya sehingga itu merupakan kesenian yang diharamkan.
a. Al-Quran
b. Hadist
c. Ijtihad
Orang yang melakukan ijtihadnya dengan benar (para mujtahid) akan mendapat dua pahala.
Seni akan menjadi haram jika:
a. Seni suara dan seni musik (membuat orang lupa akan Allah), Al-Khamr (minuman arak) , dan al-qainat (penyanyi cabul).
b. Seni rupa (gambar, terutama patung), yang ada hubungannya dengan jiwa kemusyrikan dan penyembahan berhala. Pelukisan Tuhan merupakan menyekutukanNya sehingga itu merupakan kesenian yang diharamkan.
C.
Ilmu untuk Kemaslahatan Hidup
Islam adalah
agama yang sama sekali tidak menginginkan umatnya buta huruf, tolol bin bodoh
alias goblok. Tapi islam adalah agama yang menginginkan umatnya memiliki
kecerdasan intelektual dan spiritual. Pantas dalam falsafah hidup yang
dikatakan oleh Sastrawan dan Budayawan Madura D. ZAWAWI IMRAN asal Sumenep.
Beliau mengatakan bahwa : “ lebih baik mati ikut air kencing ibu dari pada
hidup tidak dapat memberikan manfaat sama sekali, karena pentingnya menjadi
orang-orang yang berilmu. Perlu diketahui bahwa orang-orang yang berilmu
memiliki keutamaan dan derajat yang tinggi disis Allah swt.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman
didalam Al Qur’an surat Al Mujadalah ayat 11 :
Yang artinya : “ Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan bebarapa
derajat “.
Kata iman dan
ilmu disebut secara beriringan, mengandung arti bahwa Iman tidak boleh
dipisahkan dengan Ilmu. Pantas kalau ilmuwan barat Albert Einstein mengatakan :
“ science without religion is bland, but
religion without is lame “( ilmu pengetahuan tanpa agama akan buta,
sedangkan agama tanpa ilmu pengetahuan akan lumpuh ).
Ada sebuah
cerita yang diceritakan oleh Prof. Dr
Ahmad Saboe yang pernah meraih hadiah nobel di Pakistan dalam bukunya
Pendekatan Ilmiyah tentang Eksistensi Tuhan dan Makhluk Ciptaanya. Dia
menceritakan tentang Dr. Ehrenfest
yang telah menulis surat kepada temanya Dr.
Paul Konstam sebelum Dr. ehrenfest meninggal dunia, dia mengatakan bahwa
: “ aku telah berhasil dalam meraih keduniawian, ilmu pengetahuan aku punya,
aku sangat paham dan ahli dalam bidang kedokteran bahkan kekayaan pun aku
punyai namun ada satu hal yang aku remehkan, yang itu membuat hidupku hancur
bahkan aku bunuh diri dan membunuh anak dan istriku sendiri, yaitu bahwa selama
ini aku tidak pernah mengenal tuhanku “.
Dari cerita
tadi dapat di artikan bahwa agar IPTEK dapat memberikan kemaslahatan umat, maka
kita harus membekali diri sejak dini dengan IMAN dan TAQWA kepada Allah swt.
Mantan Presiden RI. Prof. Bj Habibie mengatakan
bahwa : keseimbangan IPTEK dan IMTAQ merupakan refleksi dua unsur penting dalam
kehidupan manusia yang senantiasa dijaga. Menurut Bj Habibie, IPTEK diperlukan untuk membawa perubahan positif,
kemajuan dan kesejahteraan dalam kehidupan. Sedangkan IMTAQ menjaga agar
manusia tidak tersesat dalam kehidupan.
“ Otak boleh Jerman, namun Hati harus
tetap berIMAN “
“ Otak boleh Amerika, namun Hati harus
tetap berTAQWA “
“ Otak boleh Berfikir, namun Hati harus
tetap Berdzikir “
d) Keutamaan
Orang Berilmu dan Beramal
Perbuatan baik seseorang tidak akan bernilai amal shaleh apabila perbuatan tersebut tidak dibangun atas nilai-nilai iman dan ilmu yang benar. Sama halnya dengan perkembangan IPTEKS yang lepas dari keimanan dan ketakwaan tidak akan bernilai ibadah serta tidak akan menghasilkan kemaslahatan bagi umat manusia dan alam lingkungannya. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, kesempurnaannya karena dibekali seperangkat potensi. Potensi yang paling utama adalah akal. Dan akal tersebut berfungsi untuk berpikir hasil pemikirannya adalah ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Ilmu-ilmu yang dikembangkan atas dasar keimanan dan ketakwaan pada Allah SWT, akan memberikan jaminan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia termasuk bagi lingkungannya. Allah berjanji dalam Q.S 58(Al-Mujadalah):11:
Perbuatan baik seseorang tidak akan bernilai amal shaleh apabila perbuatan tersebut tidak dibangun atas nilai-nilai iman dan ilmu yang benar. Sama halnya dengan perkembangan IPTEKS yang lepas dari keimanan dan ketakwaan tidak akan bernilai ibadah serta tidak akan menghasilkan kemaslahatan bagi umat manusia dan alam lingkungannya. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, kesempurnaannya karena dibekali seperangkat potensi. Potensi yang paling utama adalah akal. Dan akal tersebut berfungsi untuk berpikir hasil pemikirannya adalah ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Ilmu-ilmu yang dikembangkan atas dasar keimanan dan ketakwaan pada Allah SWT, akan memberikan jaminan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia termasuk bagi lingkungannya. Allah berjanji dalam Q.S 58(Al-Mujadalah):11:
دَرَجَاتٍالْعِلْمَأُوتُوا وَالَّذِينَ مِنْكُمْآَمَنُوا
الَّذِينَ اللَّهُ يَرْفَعِ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Menurut Al-Gazhali bahwa makhluk yang paling mulia adalah manusia, sedangkan sesuatu yang paling mulia pada diri manusia adalah hatinya, tugas utama pendidik adalah menyempurnakannya, membersihkan dan mengiringi peserta didik agar hatinya selalu dekat kepada Allah swt, melalui perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, para pendidik akan selalu dikenang oleh anak didiknya. Kemudian al-Gazhali memberikan argumentasi yang kuat, baik berdasarkan al-Qur’an as Sunnah, maupun argumentasi secara rasional. Sehingga kita dapat mengatakan bahwa mengajarkan ilmu bukan hanya termasuk aspek ibadah kepada Allah swt, melainkan juga termasuk khalifah Allah swt, karena hati orang alim telah dibukakan oleh Allah SWT.
Keutamaan orang yang berilmu menurut Al-Ghazali :
- Bagaikan matahari, selain menerangi dirinya juga penerang orang lain.
- Bagaikan minyak kasturi yang selalu menyebarkan keharuman bagi orang yang berpapasan dengannya.
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Menurut Al-Gazhali bahwa makhluk yang paling mulia adalah manusia, sedangkan sesuatu yang paling mulia pada diri manusia adalah hatinya, tugas utama pendidik adalah menyempurnakannya, membersihkan dan mengiringi peserta didik agar hatinya selalu dekat kepada Allah swt, melalui perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, para pendidik akan selalu dikenang oleh anak didiknya. Kemudian al-Gazhali memberikan argumentasi yang kuat, baik berdasarkan al-Qur’an as Sunnah, maupun argumentasi secara rasional. Sehingga kita dapat mengatakan bahwa mengajarkan ilmu bukan hanya termasuk aspek ibadah kepada Allah swt, melainkan juga termasuk khalifah Allah swt, karena hati orang alim telah dibukakan oleh Allah SWT.
Keutamaan orang yang berilmu menurut Al-Ghazali :
- Bagaikan matahari, selain menerangi dirinya juga penerang orang lain.
- Bagaikan minyak kasturi yang selalu menyebarkan keharuman bagi orang yang berpapasan dengannya.
Ada
dua fungsi utama manusia di dunia, yaitu sebagai abdun (hamba Allah) dan
khalifah fil ardhi. Essensi dari abdun adalah ketaatan kepada Allah, dan
essensi khalifah adalah tanggung jawab terhadap diri sendiri dan alam
lingkungannya. Manusia sebagai khalifah bertanggung jawab untuk menjaga
keseimbangan alam dan lingkungannya, mengeksplorasi sumberdaya alam untuk
sesuatu yang bermanfaat. Oleh karena itu, tanggung jawab kekhalifahan banyak
bertumpu pada ilmuwan dan para intelektual yang mampu memanfaatkan sumber daya
alam ini.
A. Ayat dan Hadis
Al-Qur’an menganggap begitu pentingnya bukti dan kesahihan, sehingga
menasihatkan orang-orang yang beriman agar tidak menerima sesuatu yang berada
di luar pengetahuan mereka. Ayat sucinya yang berbunyi, “Janganlah menuruti
sesuatu yang engkau tidak tahu apa-apa tentangnya. Sesungguhnya,
telinga, mata, dan akal harus bertanggung jawab untuk itu..
a.
Objek ilmu
Objek ilmu
menurut ilmuwan muslim mencakup alam materi dan nonmateri. Tentu ada tata cara
dan sarana yang harus digunakan untuk meraih pengetahuan tentang hal tersebut
·
Surah Al-Nahl ayat 78 berbunyi:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (Q.S. Al-Nahl/16: 78).
Ayat ini mengisyaratkan penggunaan empat
sarana yaitu:
Pendengaran,
mata (penglihatan) dan akal, serta hati.
Trial and
error (coba-coba), pengamatan, percobaan, dan tes-tes kemungkinan (probability)
merupakan cara-cara yang digunakan ilmuwan untuk meraih pengetahuan. Hal itu
disinggung juga oleh al-Qur’an, seperti dalam ayat-ayat yang memerintahkan
manusia untuk berfikir tentang alam raya, melakukan perjalanan, dan sebagainya,
kendatipun hanya berkaitan dengan upaya manusia alam materi.
·
Surah
Yunus ayat 101:
قُلِ انظُرُواْ
مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
Terjemahnya: Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang
ada di langit dan di bumi.” (Q.S. Yunus/10: 101).
·
Surah
Al-Ghasyiyah ayat 88:
“Maka apakah mereka tidak
memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan,. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?.
Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
(Q.S. al-Ghasyiyah/88: 17-20”.
·
Surah
Al-Syu’araa ayat:
“Dan apakah mereka tidak
memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai
macam tumbuh-tumbuhan yang baik? (Q.S. Al-Syu’araa’/26: 7)”.
Di samping
mata, telinga, dan fikiran sebagai sarana meraih pengetahuan, al-Qur’an pun
menggarisbawahi pentingnya peranan kesucian hati.
Wahyu dianugrahkan atas kehendak Allah dan berdasarkan kebijaksanaan-Nya
tanpa usaha dan campur tangan manusia. Sementara firasat, intiusi, dan
semacamnya, dapat diraih melalui penyucian hati. Dari sini para ilmuwan muslim
menekankan pentingnya tazkiyah an-nafs (penyucian jiwa) guna memperoleh
hidayat (petunjuk/pengajaran Allah), karena mereka sadar terhadap kebenaran
firman Allah:
سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ
يَتَكَبَّرُونَ فِي الأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِن يَرَوْاْ كُلَّ آيَةٍ لاَّ
يُؤْمِنُواْ بِهَا...
Terjemahnya:
Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi
tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat
tiap-tiap ayat (Ku),...(Q.S. Al-A’raf/7: 146).
Para ilmuwan muslim juga menggarisbawahi pentingnya mengamalkan ilmu.
Dalam konteks ini, ditemukan ungkapan yang dinilai oleh sementara pakar sebagai
hadis Nabi Saw.
من عمل بما عمل او رثه الله مالم يعلم
Terjemahnya: Barangsiapa mengamalkan yang diketahuinya
maka Allah menganugrahkan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya”
Sebagian
ulama merujuk kepada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 282 untuk memperkuat hadis
tersebut:
وَاتَّقُواْ اللّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ
اللّهُ وَاللّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴿٢٨٢﴾…
Terjemahnya: … Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. al-Baqarah/2: 282).
Atas dasar itu semua, al-Qur’an memandang bahwa seseorang yang memiliki
ilmu harus memiliki sifat dan ciri tertentu pula, antara lain yang paling
menonjol adalah sifat khasyat (takut dan kagum kepada Allah).
Rasulullah
Saw.menegaskan bahwa:
عن جابر أن رسول الله صلى الله عليه
وسلم قال: العلم علمان علم فى القلب فذاك العلم النافع وعلم على اللسان فذاك حبة
الله على ابن أدم
Terjemahnya: Ilmu itu ada dua macam, ilmu di dalam
dada, itulah yang bermanfaat, dan ilmu sekedar di ujung lidah, maka itu akan
menjadi saksi yang memberatkan manusia.
b. Kategori
Ilmu
Dalam khazanah Islam, terdapat dua kategori ilmu pengetahuan:
Ilmu-ilmu
umum dan ilmu-ilmu agama. Adanya ilmu-ilmu umum dipahami dari surat
Fathir/35:27-28, dan adanya ilmu-ilmu agama dari surat at-Taubah/9:122.
Terjemahnya:“Tidakkah
kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan
dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara
gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya
dan ada (pula) yang hitam pekat.” (Q.S. Fathir/35: 27)”.
Di dalam
ayat ini, Tuhan meminta manusia agar memperhatikan bagaimana hujan turun dari langit.
Hal ini minimal bisa membuahkan pengembangan ilmu-ilmu meteorology. Pengamatan
terhadap hujan yang menumbuhkan aneka ragam tumbuh-tumbuhan paling kurang dapat
memicu berkembangnya ilmu-ilmu biologi dan kimia. Manusia juga diminta untuk
memperhatikan gunung-gunung, menyangkut struktur dan kelakuannya. Ini bisa
menjadi cikal-bakal pengembangan ilmu-ilmu geologi dan fisika. Ayat tersebut,
dengan demikian, menghendaki pengembangan kelima cabang ilmu alam.
·
Dalam ayat berikutnya:
Terjemahnya:
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan
binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S. Fathir/35: 28)”.
Dalam
ayat ini, Allah menyuruh manusia agar mengamati dirinya sendiri, hewan, dan
ternak, yang beragam jenisnya. Bila pengamatan dilakukan, di samping akan
mengembangkan ilmu-ilmu alam di atas, juga akan memajukan ilmu-ilmu sosial,
termasuk ilmu ekonomi. Pengamatan terhadap manusia tentu akan melahirkan
ilmu-ilmu budaya (humaniora). Jadi, ayat tersebut jelas menghendaki
pengembangan ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
·
Di pihak lain, dalam surah at-Taubah/9:122
Terjemahnya:
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka
itu dapat menjaga dirinya.” (Q.S. at-Taubah/9: 122)”.
Allah
mencela sikap yang selalu mengejar dunia saja. Dalam setiap golongan, Allah
menghendaki adanya sekelompok orang yang mendalami agama, menasehati dan
memajukan masyarakat.
Pengembangan kedua golongan besar ini harus proporsional. Memang, fungsi
ilmu-ilmu umum bagi kemajuan di dunia, tidak diragukan. Tetapi, hendaknya perlu
disadari bahwa ilmu-ilmu agama ikut berperan dalam membangun kehidupan dunia.
Sebab, jika ilmu-ilmu umum membangun ketahanan fisik, maka ilmu-ilmu agama
membekali pelaku pembangunan dengan ketahanan mental dan moral yang sangat
penting bagi kesuksesan pembangunan. Dengan demikian kedua jenis ilmu tersebut
mesti dipelajari dan diperankan secara seimbang. Kedua ilmuwan di bidangnya
masing-masing hendaklah terlibat secara penuh.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu yang diisyaratkan
al-Qur’an dalam banyak hal, meliputi segala pengetahuan yang bisa menyingkap
hakikat segala sesuatu serta dapat menghilangkan kabut kebodohan dan keraguan
dari akal manusia. Obyeknya dapat berupa alam atau pun manusia, wujud maupun
gaib. Demikian pula metode pengetahuannya, bisa berupa indra dan empiris
ataupun akal.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari berbagai uraian pada bab sebelumnya, maka dapat dikemukakan
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Etika adalah
filsafat moral atau ilmu akhlak, tidak lain dari pada ilmu atau “seni” hidup
(the art of living) yang mengajarkan bagaimana cara hidup bahagia, atau
bagaimana memperoleh kebahagiaan. Etika sebagai seni hidup etika sebagai
pengobatan spiritual.
2. Agama merupakan
kebutuhan paling esensial manusia yang bersifat universal. Karena itu, agama
adalah kesadaran spiritual yang di dalamnya ada satu kenyataan yang tampak ini,
yaitu bahwa manusia selalu mengharap belas kasih-Nya, bimbingan tangan-Nya,
serta belaian-Nya, yang secara ontologism tidak diingkari, walaupun oleh
manusia yang paling komunis sekalipun.
3. ‘Ilm dari segi
etimologi berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya
mempunyai ciri kejelasan. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.
4. Etika dalam Islam
(bisa dikatakan) identik dengan ilmu akhlak, yakni ilmu tentang
keutamaan-keutamaan dan bagaimana cara mendapatkannya agar manusia berhias
dengannya; dan ilmu tentang hal yang hina dan bagaimana cara menjauhinya agar
manusia terbebas daripadanya. Etika, di lain pihak, seringkali dianggap sama
dengan akhlak.
B. Saran
Mungkin inilah yang bisa kami sampaikan pada penulisan tugas makalah “Etika Islam dalam Ilmu Pengetahuan”.
Meskipun makalah ini jauh dari sempurna minimak kita dapat mengambil manfaat
dan ilmu dari makalah ini. Masih banyak kesalahan dari penulisan yang kami
buat, karena kami hanyalah manusia yang adalah tempat salah dan dosa, dan kami
juga butuh saran/kritikan agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan yang
lebih baik dari pada masa sebelumnya.
Dengan selesainya makalah ini kami
berharap kita dapat lebih mendekatkan diri kepada ALLAH SWT sebagai rasa syukur
kita terhadap belas kasih-NYA kepada kita, dan tak lupa pula kita sebagai
manusia yang tak luput dari salah tentunya meminta maaf atas ketidaksempurnaan
penyusunan makalah ini karena kami sadar kami masih dalam tahap belajar.
DAFTAR PUSTAKA
Amin,
Ahmad, Etika (ilmu akhlak), Cet. VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Abdullah, M. Amin, The Idea of Universality of Ethical
Norms in Ghazali and Kant, diterjemahkan oleh Hamzah, Antara
al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, Cet.. II; Bandung: Mizan
1423/2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar