BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Konsep
IPTEKS dan peradaban muslim
2.1.1. Integrasi
Amal, Ilmu, Amal dan Definisi IPTEKS
Istilah
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) sering diterjemahkan menjadi science and
technology. Namun sesungguhnya, menurut perspektif filsafat ilmu dan
pengetahuan memiliki makna yang berbeda. Pengetahuan yang dalam bahasa inggris
disebut dengan knowledge, adalah segala sesuatu yang diketahui manusia melalui
tahapan panca indra, intuisi, dan firasat. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan
yang sudah diklasifikasikan, diorganisasi,disistemasitisasi, dan
diinterpretasi, sehingga menghasilkan kebenaran yang objektif, sudah diuji
kebenarannya dan dapat diuji ulang secara ilmiah (webter’s dictionary science).
Menurut pandangan dunia Timur (Arab) yang dalam hal ini diwakili Al-Gazali,
ilmu didefinisikan sebagai cahaya dalam hati (Al – ilmu Nurun fil Qulbi). Dalam
surat al- Rahman 1-13 mendefinisikan ilmu sebagai rangkaian keteranagn teratur
dari Allah menurut Sunah Rasul yang menerangkan semesta kehidupan yang
tergantung kepada Allah. Dala sejarah islam, tercatat banyak sekali ilmuwan
muslim yang ahli dalam berbagai bidang kajian ilmu. Beberapa yang bisa disebut
antara lain Ibnu Rusyid, Ibnu Sina, Al –Razi, Al-Khwarizmi dan lain-lain,
adalah sosok yang disamping sebagai filosof, mereka juga ahli kedokteran,
astronomi, metematika, fisika dan sebagainya. Jika teknologi diimbangi dengan
ilmu, maka sesungguhnya ia merupakan aktivitas atau produk dari iman, yaitu
hasil amaliyah bil arkan. Seni adalah ungkapan akal dan budi manusia dengan
segala prosesnya. Menurut Sabda Nabi, “Innallaha jamilun wa yuhibbul Jamaal”,
Allah itu indah dan menyukai keindahan.
2.1.2. Syarat-syarat
ilmu
Dari sudut pandang filsafat, ilmu
lebih khusus dari pengetahuan. Suatu pengetahuan dapat dikatagorikan sebagai
ilmu apabila memenuhi tiga unsur pokok, yaitu:
·
Ontologi, yaitu suatu bidang study yang
memiliki objek study yang jelas. Subjek studi tersebut harus dapat
diindentifikasikan, diberi batasan, diuraikan, dan sifat-sifatnya essensial.
Objek studi sebuah ilmu ada dua, yaitu objek material dan objek formal.
·
Askiologi, yaitu suatu bidang studi yang
memiliki nilai guna atau kemanfaatan. Ia dapat menunjukkan nilai-nilai
teoritis, hukum-hukum, generalisasi, kecenderungan umum, konsep-konsep, dan
kesimpulan-kesimpulan logis, sistematis dan koheren. Dalam teori dan konsep
tersebut tidak terdapat kerancuan dan kesemerawutan pikiran atau kopntradiksi
antara yang satu dengan yang lain.
·
Epistimologi, yaitu uatu bidang studi yang
memiliki metode kerja yang jelas. Ada dua metode kerja suatu bidang studi,
yaitu deduksi dan induksi.
Dalam pemikiran sekuler, sains
memiliki tiga karakteristik, yaitu objektif, netral, dan bebas nilai. Sedangkan
dalam pemikiran islam, sains tidak boleh bebas dari nilai-nilai, baik nilai
local maupun nilai universal. Ia harus dikembangkan dan dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kebahagiaan manusia dan kelestariamn ekologis untuk
tujuan rahmatan lil ‘alamin (Q.S al Anbiya 107).
2.1.3. Sumber
Ilmu Pengetahuan
Dalam pemikiran islam ada dua
sumber ilmu, yaitu wahyu dan akal. Islam sendiri menegaskan bahwa, ad-dinu huwa
al-‘alq wa laa diina liman laa ‘ aqla lahu (agama adalah akal dan tidak ada
agama bagi yang tidak berakal)
2.1.4. Keutaman
Orang Berilmu
Manusia
adalah satu-satunya mahluk Allah yang diberi anugrah akal oleh Allah. Oleh
karena itu sudah sepantasnya jika manusia berkewajiban untukmengagungkan dan
mengoptimalkan potensi dengan sebaik-baiknya.
Al-Qur’an
bahkan membedakan orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu (QS.
39:9). Ayat tersebut mengatakan: katakanlah, adakah sama orang yang mengetahui
dengan orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah orang
yang dapat menerima pelajaran. Demikian juga Al-Qur’an yang menegaskan bahwa
Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu apabila orang orang tersebut
beriman. (QS 58:11)
Di
samping itu, Rasulullah SAW banyak memberikan perumpamaan tentang keutamaan
orang yang berilmu dengan sabdanya, bahwa: mereka adalah pewaris para nabi,
pada hari kiamat darah mereka ditimbang dengan darah syuhada, dan darah orang
yang berilmu dilebihkan Darah darah syuhada. Nabi juga menyarankan umatnya
untuk tidak berhenti mencari ilmu kapan dan dimanapun mereka berada, lewat
sabdanya : Carilah ilmu walaupun di negeri China, mencari ilmu wajib bagi
muslim laki-laki dan perempuan sejak dari ayunan sampai ke liang lahat. Bagi
orang berilmu, yang melandaskan keilmuannya dengan keimanan , pengembangan, dan
pemanfaatan IPTEK dan seni tidaklah ditunjukan sebagai tuntunan hidup semata,
tetapi juga merupakan refleksi dari ibadah kepada Allah. Oleh karena itu,
hasil-hasil kemajuan IPTEK akan dikembangkan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya
untuk tujuan Rahmatan lil alamin. (QS.21:107)
2.1.5. Tanggung
Jawab Ilmuwan terhadap Alam dan Lingkungan
Proses
dehumanisasi dan terancamnya keseimbangan ekologi dan kelestarian
alam,merupakan imbas negatif dari kemajuan IPTEKS. Dalam QS. Ar-Rum 45
disebutkan : telah timbul kerusakan di daratan dan dilautan karena ulah tangan
manusia.
Oleh
karena itu, ilmuwan tidak cukup hanya dengan ilmu saja,tetapi harus dibekal
dengan iman dan takwa. Ilmuwan yang beriman dan bertakwa akan memanfaatkan
kemajuan IPTEK untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan kelangsungan hidup
manusia dan keseimbangan ekologi dan bukan untuk fasad fil ardhi.
2.2. Hubungan antara ilmu, agama, dan
budaya
2.2.1.
Hubungan Agama dengan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi memang berdampak positif,
yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai sarana modern
industri, komunikasi, dan transportasi, misalnya, terbukti amat bermanfaat.
Dahulu Ratu Isabella (Italia) di abad XVI perlu waktu 5 bulan dengan sarana
komunikasi tradisional untuk memperoleh kabar penemuan benua Amerika oleh
Columbus. Tapi di sisi lain, tidak jarang iptek berdampak negatif karena
merugikan dan membahayakan kehidupan dan martabat manusia. Bom atom telah
menewaskan ratusan ribu manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945.
Lingkungan hidup seperti laut, atmosfer udara, dan hutan juga tak sedikit
mengalami kerusakan dan pencemaran yang sangat parah dan berbahaya. Beberapa
varian tanaman pangan hasil rekayasa genetika juga diindikasikan berbahaya bagi
kesehatan manusia. Tak sedikit yang memanfaatkan teknologi internet sebagai
sarana untuk melakukan kejahatan dunia maya (cyber crime) dan untuk mengakses
pornografi, kekerasan, dan perjudian (Ahmed, 1999 )
Di
sinilah, peran agama sebagai pedoman hidup menjadi sangat penting untuk
ditengok kembali. Dapatkah agama memberi tuntunan agar kita memperoleh dampak
iptek yang positif saja, seraya mengeliminasi dampak negatifnya semiminal
mungkin (Ahmed, 1999).
Ada beberapa kemungkinan hubungan antara
agama dan iptek:
a) berseberangan
atau bertentangan,
b) bertentangan
tapi dapat hidup berdampingan secara damai,
c) tidak
bertentangan satu sama lain,
d) saling
mendukung satu sama lain, agama mendasari pengembangan iptek atau iptek
mendasari penghayatan agama.
Pola
hubungan pertama adalah pola hubungan yang negatif, saling tolak. Apa yang
dianggap benar oleh agama dianggap tidak benar oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi. Demikian pula sebaliknya. Dalam pola hubungan seperti ini,
pengembangan iptek akan menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran agama
dan pendalaman agama dapat menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran ilmu
pengetahuan. Orang yang ingin menekuni ajaran agama akan cenderung untuk
menjauhi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh manusia. Pola
hubungan pertama ini pernah terjadi di zaman Galileio-Galilei. Ketika Galileo
berpendapat bahwa bumi mengitari matahari sedangkan gereja berpendapat bahwa
matahari lah yang mengitari bumi, maka Galileo dipersalahkan dan dikalahkan. Ia
dihukum karena dianggap menyesatkan masyarakat (Furchan, 2009).
Pola
hubungan ke dua adalah perkembangan dari pola hubungan pertama. Ketika
kebenaran iptek yang bertentangan dengan kebenaran agama makin tidak dapat
disangkal sementara keyakinan akan kebenaran agama masih kuat di hati, jalan
satu-satunya adalah menerima kebenaran keduanya dengan anggapan bahwa
masing-masing mempunyai wilayah kebenaran yang berbeda. Kebenaran agama
dipisahkan sama sekali dari kebenaran ilmu pengetahuan. Konflik antara agama
dan ilmu, apabila terjadi, akan diselesaikan dengan menganggapnya berada pada wilayah
yang berbeda. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek tidak
dikaitkan dengan penghayatan dan pengamalan agama seseorang karena keduanya
berada pada wilayah yang berbeda. Baik secara individu maupun komunal,
pengembangan yang satu tidak mempengaruhi pengembangan yang lain. Pola hubungan
seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler yang sudah terbiasa untuk
memisahkan urusan agama dari urusan negara/masyarakat (Furchan, 2009).
Pola
ke tiga adalah pola hubungan netral. Dalam pola hubungan ini, kebenaran ajaran
agama tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan tetapi juga tidak
saling mempengaruhi. Kendati ajaran agama tidak bertentangan dengan iptek,
ajaran agama tidak dikaitkan dengan iptek sama sekali. Dalam masyarakat di mana
pola hubungan seperti ini terjadi, penghayatan agama tidak mendorong orang
untuk mengembangkan iptek dan pengembangan iptek tidak mendorong orang untuk
mendalami dan menghayati ajaran agama. Keadaan seperti ini dapat terjadi dalam
masyarakat sekuler. Karena masyarakatnya sudah terbiasa dengan pemisahan agama
dan negara/masyarakat, maka. ketika agama bersinggungan dengan ilmu,
persinggungan itu tidak banyak mempunyai dampak karena tampak terasa aneh
apabila dikaitkan (Furchan, 2009).
Pola
hubungan yang ke empat adalah pola hubungan yang positif. Terjadinya pola
hubungan seperti ini mensyaratkan tidak adanya pertentangan antara ajaran agama
dan ilmu pengetahuan serta kehidupan masyarakat yang tidak sekuler. Secara
teori, pola hubungan ini dapat terjadi dalam tiga wujud: ajaran agama mendukung
pengembangan iptek tapi pengembangan iptek tidak mendukung ajaran agama,
pengembangan iptek mendukung ajaran agama tapi ajaran agama tidak mendukung
pengembangan iptek, dan ajaran agama mendukung pengembangan iptek dan demikian
pula sebaliknya (Furchan, 2009).
Hubungan Agama dan
Pengembangan Iptek Dewasa Ini
Pola
hubungan antara agama dan iptek di Indonesia saat ini baru pada taraf tidak
saling mengganggu. Pengembangan agama diharapkan tidak menghambat pengembangan
iptek sedang pengembangan iptek diharapkan tidak mengganggu pengembangan
kehidupan beragama. Konflik yang timbul antara keduanya diselesaikan dengan
kebijaksanaan (Furchan, 2009).
Dewasa
ini iptek menempati posisi yang amat penting dalam pembangunan nasional jangka
panjang ke dua di Indonesia ini. Penguasaan iptek bahkan dikaitkan dengan
keberhasilan pembangunan nasional. Namun, bangsa Indonesia juga menyadari bahwa
pengembangan iptek, di samping membawa dampak positif, juga dapat membawa
dampak negatif bagi nilai agama dan budaya yang sudah dimiliki oleh bangsa
Indonesia. Sebagai bangsa yang telah memilih untuk tidak menganut faham
sekuler, agama mempunyai kedudukan yang penting juga dalam masyarakat
Indonesia. Oleh karena itulah diharapkan agar pengembangan iptek di Indonesia
tidak akan bertabrakan dengan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa
(Furchan, 2009).
Kendati
pola hubungan yang diharapkan terjadi antara agama dan iptek secara eksplisit
adalah pola hubungan netral yang saling tidak mengganggu, secara implisit
diharapkan bahwa pengembangan iptek itu dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan
oleh nilai-nilai agama. Ini merupakan tugas yang tidak mudah karena, untuk itu,
kita harus menguasai prinsip dan pola pikir keduanya (iptek dan agama)
(Furchan, 2009).
2.2.2.
Hubungan Agama dengan Kebudayaan
Sistem
religi merupakan salah satu unsur kebudayaan universal yang mengandung
kepercayaan dan perilaku yang berkaitan dengan kekuatan serta kekuasaan
supernatural. Sistem religi ada pada setiap masyarakat sebagai pemeliharaan
kontrol sosial (Sutardi, 2007).
Sebagai
salah satu unsur kebudayaan yang universal, religi dan kepercayaan terdapat di
hamper semua kebudayaan masyarakat. Religi meliputi kepercayaan terhadap
kekuatan gaib yang lebih tinggi kedudukannya daripada manusia dan mencangkup
kegiatan- kegiatan yang dilakukan manusia untuk berkomunikasi dan mencari
hubungan dengan kekuatan- kekuatan gaib tersebut. Kepercayaan yang lahir dalam
bentuk religi kuno yang dianut oleh manusia sampai masa munculnya agama- agama.
Istilah agama maupun religi menunjukkan adanya hubungan antara manusia dan
kekuatan gaib di luar kekuasaan manusia, berdasarkan keyakinan dan kepercayaan
menurut paham atau ajaran agama (Sutardi, 2007).
Agama
sukar dipisahkan dari budaya karena agama tidak akan dianut oleh umatnya tanpa
budaya. Agama tidak tersebar tanpa budaya, begitupun sebaliknya, budaya akan
tersesat tanpa agama (Sutardi, 2007).
Sebelum
ilmu antropologi berkembang, aspek religi telah menjadi pokok perhatian para
penulis etnografi. Selanjutnya, ketika himpunan tulisan mengenai adat istiadat
suku bangsa di luar eropa berkembang denganluas dan cepat melalui dunia ilmiah,
timbul perhatian terhadap upacara keagamaan. Perhatian tersebut disebabkan
hal-hal berikut: upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya
merupakan unsur kebudayaan yang tampak secara lahiriah, dan bahan etnografi
mengenai upacara keagamaan yang diperlukan dalam menyusun teori-teori tentang
asal-usul suatu kepercayaan (Sutardi, 2007).
Mengenai
soal agama, Pater Jan Bakker menyatakan bahwa filsafat kebudayaan tidak
menanggapi agama sebagai kategori insane semata-mata, karena bagi filsafat ini
agama merupakan keyakinan hidup rohani pemeluknya; merupakan jawab manusia
kepada panggilan ilahi dan di sini terkandung apa yang disebut iman. Iman tidak
berasal dari suatu tempat ataupun pemberian makhluk lain. Iman ini asalnya dari
Tuhan, sehingga nilai-nilai yang mincul dari daya iman ini tidak dapat
disamakan dengan karya-karya kebudayaan yang lain, sebab karya tersebut berasal
dari Tuhan. Agama sebagai sistem objektif terkandung unsur-unsur kebudayaan
(Bakker, 1984).
Yang
jelas dalam ilmu antropologi memang agama menjadi salah satu unsur kebudayaan.
Dalam hal ini para ahli antropologi tidak berbicara soal iman, sebab secara empiris
iman tidak dapat dilihat (Bakker, 1984).
Perilaku Religi dalam
Masyarakat
Agama
memiliki posisi yang cukup signifikan dalam kehidupan bermasyarakat. Negara
mengakui keberadaan agama dan melindungi kebebasan masyarakat dalam
melaksanakan ajaran agamanya (Sutardi, 2007).
Pada
saat ini, adanya kebebasan dan keterbukaan memberikan ruang yang besar bagi
masyarakat untuk mengamalkan ajarana agama sebaik mungkin. Semangat otonomi
daerah yang memberikan keleluasan dan berpartisipasi dalam mengurus daerahnya masing-
masing memberi peluang untuk mengangkat ajaran agama sebagai ruh pengelolaan
pemerintahan. Ajaran agama dikemas sebagai dasar pengaturan pemerintahan yang
mengatur kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai yang diangkat merupakan
nilai-nilai kebaikan universal yang juga diakui oleh agama lain (Sutardi,
2007).
Ajaran
agama ketika disandingkan dengan nilai-nilai budaya lokal di era desentralisasi
dapat diserap untuk dijadikan pengangan kehidupan bermasyarakat. Hal ini dapat
dilihat dengan diberikannya otonomi khusus kepada Aceh yang dikenal dengan
Nanggroe Aceh Daussalam. Agama dan budaya di NAD sudah melebur dan tidak bisa
dipisahkan sejak dahulu, ketika kerajaan Islam masih ada di wilayah tersebut.
Dengan otonomi khusus ini hokum pidana Islam kembali dihidupkan sehingga
masyarakat merasakan keadilan sesuai dengan keyakinannya. Hal ini menjadi awal
yang baik dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat dengan mengangkat agama
dan budaya yang ada di masyarakat tersebut (Sutardi, 2007).
Pada
masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi leluhurnya, perilaku
keagamaan juga memberikan dampak yang cukup berarti. Hal ini dapat dilihat pada
masyarakat Suku Toraja di Sulawesi Selatan. Masyarakat Suku Toraja mempercayai
bahwa kematian merupakan awal menuju kehidupan yang kekal. Itu sebabnya dalam
budaya Toraja dikenal pemeo ‘hidup manusia adalah untuk mati’. Artinya, setelah
mati, manusia akan menuju kehidupan yang kekal di nirwana. Untuk mencapai
nirwana, seseorang yang meninggal harus membawa bekal harta sebanyak-banyaknya.
Nyawa orang yang meninggal juga akan diantar ke surge dengan pesta yang
semarak. Semakin banyak benda yang dibawa si mayat, semakin bahagia hidupnya di
alam baka (Sutardi, 2007).
Dari
ilustrasi tersebut dapat dikatakan bahwa perilaku keagamaan dapat memberikan
dampak dalam kehidupan bermasyarakat. Orang-orang Toraja sampai saat ini
dikenal memiliki kebiasaan menabung dan bersikap hidup hemat agar nantinya
dapat menyelenggarakan upacara kematian yang meriah. Mereka menganggap anak
keturunan berkewajiban memperlakukan leluhurnya dengan baik sebab dengan
begitu, sang leluhur juga akan melimpahkan rejeki dan menjaga keturunannya
dengan baik pula (Sutardi, 2007).
2.3. Hukum
sunnatullah
Sunnatullah,
di dunia moden yang sekular dipanggil law of nature bermacam-macam persepsi
dari kalangan manusia, muslim atau non muslim terhadap hukum yang
berlaku kepada alam dan isi kandunganya, ini menggambarkan begitu dangkal akal yang tidak
mendapat petunjuk Ilahy mengenal pencipta alam ini dan undang-undang
yang berlaku didalamnya. Al-Qur'an memberikan mesej yang jelas, bahawa hukum
yang berlaku di alam ini diatur oleh Allah s.w.t yang dipanggil sunnatullah dan
ia bukan dari anggapan sebahagian manusia
sebagai hukum semula jadi yang tiada penghujungnya itu.
Persepsi
yang terkeluar dari menda yang dicetak
oleh hukum sekular (keduniaan) yang
menyembah mindanya sendiri. Maka beberapa perkara yang amat perlu
diperhatikan untuk sama-sama kita renungkan, setidak-tidaknya ada tiga persepsi
tentang sunnatullah dari golongan manusia. Pertama patuh secara terpaksa,
kedua, patuh sebahagian dan kufur kepada sebahagian yang lain, ketiga patuh secara sukarela.
Golongan pertama adalah mereka yang kufur dan tidak
segan silu mengenkari undang-undang Allah dan buta mata hatinya terhadap hukum
pertumbuhan jasadnya dan apa yang berlaku kepada dirinya, mereka ini kufur dari
ketentuan Allah terhadap hukum yang berlaku kepada dirinya dan pertumbuhan
jasadnya. Golongan ke dua, mereka secara sedar atau tidak atau disebabkan
kejahilan tidak memperhatikan hukum pertumbuhan yang berlaku kepada jasadnya,
lantas dengan segala kekeliruanya engkar tehadap hukum Allah s.w.t. Golongan
ketiga mereka yang patuh dengan penuh keimanan dan ketaqwaan, selalu
memperhatikan apa yang berlaku kepada alam ini, mereka sesungguhnya meyakini
sepenuhnya pada dirinya dan hukum pertumbuhan serta perubahan pada jasadnya,
kesemuanya dari sunnatullah.
Hukum-hukum yang serba tetap yang mengatur
alam ini, maka sesungguhnya itulah hukum Allah s.w.t. apa yang diistilahkan Sunnatullah.
Kenyataaan ini
diperkukuhkan oleh Al Qur'an. Firman Allah yang bermaksud
" Dan Allah mencipta tiap-tiap
sesuatu, lalu ditetapkan padanya hukum- hukumnya" (Q.S Al Furqan:2)
Dalam ayat yang lain ada dinyatakan.
Firman Allah yang bermaksud :
" Sesungguhnya kami (Allah) telah
mencipta segala sesuatu dengan ketentuan yang pasti" (AlQamar:49)
Hukum-hukum
Allah pada makhluknya ada dua jenis yang bertulis dan tidak tertulis. Hukum
Allah yang tertulis itu yang diwahyukannya kepada para Nabi dan Rasul terhimpun
dalam kitab -kitab suci yang empat dan yang terakhir ialah Al Qur'an. Ciri-ciri
khas hukum Allah tertulis ini reaksi waktunya ( time response) lebih panjang,
mungkin lebih panjang dari usia manusia dan tidak dapat diketahui secara
ekperimen menurut persayaratan ilmu. Umpamanya orang yang beriman, beribadah
dan yang bertaqwa dijanjikan kehidupan yang baik, sejahtera dan kebahagiaan,
disebaliknya orang yang zalim, munafiq, fasiq dan kufur (kafir) diancam dengan
hukuman kehinaan dan kebinasaan (azab dan seksa yang amat pedih). Hukum Tuhan
pasti berlaku terhadap kebaikan seseorang yang taat kepada Tuhan dan kehinaan
keatas mereka yang durhaka kepada Tuhan. Maka yang dimaksudkan reaksi waktunya
lebih panjang dari umur manusia kerana
tidak dapat dibuktikan oleh pengamatan akal yang bersifat manusiawi dan dengan
ekperimen.
Hukum
Tuhan yang tidak tertulis ciri-ciri khasnya ialah reaksi waktu (time response)
pendek dari usia manusia, ia boleh dilakukan penelitian dan ekperimen selain itu ia tidak melibatkan
manusia. Contoh air yang mendidih 100°C. Jika satu liter air dimasak memerlukan
waktu 10 menit untuk mendidih, maka yang 10 minit itulah disebut reaksi waktu
yang jauh lebih pendek dari umur manusia, sehingga didih air dapat diketahui dengan mengukur suhu
air itu mendidih, begitu juga hukum gaya
berat gravitasi, dan semuanya ini tidak diwahyukan Allah dalam Al Qur'an.
Hikmahnya supaya manusia menggunakan anugerah Tuhan amat istimewa yang bernama
akal itu akan perlu adanya ekperimen
atau pengembangan ilmu dan teknologi. Sekiranya Allah itu mewahyukan semua
hukum-hukumnya, maka tentulah manusia itu diciptakan serupa dengan robot dan
tidak dinamik lagi.
Maka
inilah dinamakan hukum Allah itu pasti (exact), objektif dan tetap. Hukum-hukum
Allah itu tidak pernah berubah sejak diciptakan alam semesta ini, dan tidak
akan berubah sampai hancurnya alam ini (kiamat besar). Sejak diciptakan,
misalnya air mengalir tentunya dari tempat tinggi ke tempat rendah, tetapi
tidak pula disebaliknya. Demikian juga dalam keadaan biasa tidak pernah air itu
mendidih dalam keadaan suhu 10°C tapi selalu dalam suhu 100°C. Sebelum
Newton lahir, setiap batu yang diangkat
kemudian dilepaskan tidak pernah melayang-layang, tetapi ia jatuh dengan mudah. Hukum gravitasi
adalah hukam Allah s.w.t. yang pertama kali dipopulerkan oleh Newton(1642-1727)
seorang filosuf dan Ilmuan Barat (Inggeris.)
Firman Allah s.w.t yang bermaksud :
" Yang demikian adalah Sunnatullah
yang telah berlaku sejak dahulu dan kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan
bagi Sunnatullah itu."(Q.S Al Fath :23)
Dalam ayat yang lain. Allah berfirman
yang bermaksud :
" Anda tidak akan menjumpai dalam
ciptaan Allah itu sebuah kekacauan, maka lihatlah sekali lagi adakah kamu temui
padanya kecacatan." ( Q. S Al Mulk:
3)
Oleh
itu Allah selalu mengingatkan manusia supaya memperhatikan alam, juga
memerintahkan manusia supaya membuat penelitian terhadap alam semesta dengan
segala isi kandungannya dengan segala rendah hati bukan secara yang sombong
angkuh dengan ilmu dan teknologi yang dimiliki, betapa Allah telah menciptanya
segala benda-benda tersebut berlaku secara teratur, sedikitpun tidak terdapat
sesuatu yang kacau dan cacat kecuali yang merosakkan adalah terdiri makhluk
yang bernama manusia samada kecacatan itu berlaku didarat atau dilautan,
semuanya hasil dari perbuatan jahat manusia.
Maka
oleh kerana alam semesta dengan seluruh isi kandungannya taat atau patuh dan
tunduk kepada Allah, maka menurut tata bahasa dan secara literal Al Qur'an
samada kepatuhan itu secara terpaksa dalam bentuk kekufuran (ingkar) yang cuba
mempertikaikan kekuasaan Allah s.w.t atau patuh dengan penuh rasa keimanan dan
ketakwaan, maka seluruh alam ini adalah muslim adanya.
Sunnatullah
dari segi bahasa terdiri dari kata sunnah dan Allah. Kata sunnah antara lain
berarti "kebiasaan". Jadi sunnatullah adalah kebiasaan-kebiasaan
Allah dalam memperlakukan masyarakat. Dalam Al-Qur'an kata sunnatullah dan yang
semakna dengannya seperti sunnatuna, dan sunnatul Awwalin, kesemuanya berbicara
dalam konteks kemasyarakatan. Perlu diingat bahwa apa yang dinamai hukum-hukum
alam pun adalah kebiasaan-kebiasaan yang dialami manusia, dan dari ikhtisar
pukul rata statistik tentang kebiasaan-kebiasaan itu, para pakar merumuskan
hukum-hukum alam. Kebiasaan itu dinyatakan Allah sebagai tidak beralih
(al-Isra, 17:77) dan tidak pula berubah (al-Fath, 48:23), dan berganti juga
tidak (al-Ahzab, 33:62). Karena sifatnya demikian, maka ia dapat dinamai
"hukum-hukum kemasyarakatan" atau ketetapan-ketetapan Allah menyangkut
situasi masyarakat.
Menurut
beberapa ayat Al-Qur'an, seperti al-Isra, 17:77; al-Fath, 48:23; al-Ahzab,
33:62; ada keniscayaan bagi sunnatullah (hukum-hukum kemasyarakatan) itu, tidak
ubahnya dengan hukum-hukum alam atau yang berkaitan dengan materi. Hukum-hukum
alam sebagaimana hukum kemasyarakatan bersifat umum dan pasti, tidak satupun di
negeri manapun orang dapat terbebaskan dari sanksi bila melanggarnya.
Hukum-hukum itu tidak memperingatkan siapa yang melanggarnya dan sanksinya pun
membisu sebagaimana membisunya hukum itu sendiri. Masyarakat dan jenis manusia
yang tidak membedakan antara yang haram dan yang halal akan terbentur oleh
malapetaka, ketercabikan, dan kematian. Ini semata-mata adalah sanksi otomatis,
karena kepunahan adalah akhir dari semua mereka yang melanggar hukum alam/
kemasyarakatan.
Al-Qur'an
berbicara tentang sunnatullah dalam konteks perubahan sosial, yaitu al-Anfal,
8:53; dan al-Ra'd, 13:11. kedua ayat diatas berbicara tentang perubahan, ayat
pertama berbicara tentang perubahan nikmat, sedang ayat kedua yang menggunakan
kata "ma" (apa) berbicara tentang perubahan apapun, baik dari nikmat
(positif) menuju niqmah (negatif, murka Ilahi) maupun dari negatif ke positif.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
A.
Konsep IPTEKS dan peradaban muslim
·
Integrasi Amal, Ilmu, dan Definisi
IPTEKS
·
Syarat – syarat ilmu
·
Sumber ilmu pengetahuan
·
Keutamaan orang berilmu
·
Tanggung jawab ilmuwan terhadap alam dan
lingkungan
B.
Hubungan ilmu, agama, dan budaya
·
Hubungan Agama dengan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi memang berdampak positif,
yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai sarana modern
industri, komunikasi, dan transportasi, misalnya, terbukti amat bermanfaat.
Dahulu Ratu Isabella (Italia) di abad XVI perlu waktu 5 bulan dengan sarana
komunikasi tradisional untuk memperoleh kabar penemuan benua Amerika oleh
Columbus. Tapi di sisi lain, tidak jarang iptek berdampak negatif karena
merugikan dan membahayakan kehidupan dan martabat manusia. Bom atom telah
menewaskan ratusan ribu manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945.
Lingkungan hidup seperti laut, atmosfer udara, dan hutan juga tak sedikit
mengalami kerusakan dan pencemaran yang sangat parah dan berbahaya. Beberapa
varian tanaman pangan hasil rekayasa genetika juga diindikasikan berbahaya bagi
kesehatan manusia. Tak sedikit yang memanfaatkan teknologi internet sebagai
sarana untuk melakukan kejahatan dunia maya (cyber crime) dan untuk mengakses
pornografi, kekerasan, dan perjudian (Ahmed, 1999 )
Di
sinilah, peran agama sebagai pedoman hidup menjadi sangat penting untuk
ditengok kembali. Dapatkah agama memberi tuntunan agar kita memperoleh dampak
iptek yang positif saja, seraya mengeliminasi dampak negatifnya semiminal
mungkin (Ahmed, 1999).
Ada beberapa kemungkinan hubungan antara
agama dan iptek:
a) berseberangan
atau bertentangan,
b) bertentangan
tapi dapat hidup berdampingan secara damai,
c) tidak
bertentangan satu sama lain,
d) saling
mendukung satu sama lain, agama mendasari
·
Hubungan Agama dengan Kebudayaan
Sistem
religi merupakan salah satu unsur kebudayaan universal yang mengandung
kepercayaan dan perilaku yang berkaitan dengan kekuatan serta kekuasaan
supernatural. Sistem religi ada pada setiap masyarakat sebagai pemeliharaan
kontrol sosial (Sutardi, 2007).
Sebagai
salah satu unsur kebudayaan yang universal, religi dan kepercayaan terdapat di
hamper semua kebudayaan masyarakat. Religi meliputi kepercayaan terhadap
kekuatan gaib yang lebih tinggi kedudukannya daripada manusia dan mencangkup
kegiatan- kegiatan yang dilakukan manusia untuk berkomunikasi dan mencari
hubungan dengan kekuatan- kekuatan gaib tersebut. Kepercayaan yang lahir dalam
bentuk religi kuno yang dianut oleh manusia sampai masa munculnya agama- agama.
Istilah agama maupun religi menunjukkan adanya hubungan antara manusia dan
kekuatan gaib di luar kekuasaan manusia, berdasarkan keyakinan dan kepercayaan
menurut paham atau ajaran agama (Sutardi, 2007).
Agama
sukar dipisahkan dari budaya karena agama tidak akan dianut oleh umatnya tanpa
budaya. Agama tidak tersebar tanpa budaya, begitupun sebaliknya, budaya akan
tersesat tanpa agama
C.
Hukum sunnatullah
Sunnatullah,
di dunia moden yang sekular dipanggil law of nature bermacam-macam persepsi
dari kalangan manusia, muslim atau non muslim terhadap hukum yang
berlaku kepada alam dan isi kandunganya, ini menggambarkan begitu dangkal
akal yang tidak mendapat petunjuk Ilahy mengenal pencipta
alam ini dan undang-undang yang berlaku didalamnya. Al-Qur'an memberikan mesej
yang jelas, bahawa hukum yang berlaku di alam ini diatur oleh Allah s.w.t yang
dipanggil sunnatullah dan ia bukan dari anggapan sebahagian manusia sebagai hukum semula jadi yang tiada
penghujungnya itu.
Hukum-hukum
Allah pada makhluknya ada dua jenis yang bertulis dan tidak tertulis. Hukum
Allah yang tertulis itu yang diwahyukannya kepada para Nabi dan Rasul terhimpun
dalam kitab -kitab suci yang empat dan yang terakhir ialah Al Qur'an. Ciri-ciri
khas hukum Allah tertulis ini reaksi waktunya ( time response) lebih panjang,
mungkin lebih panjang dari usia manusia dan tidak dapat diketahui secara
ekperimen menurut persayaratan ilmu. Umpamanya orang yang beriman, beribadah
dan yang bertaqwa dijanjikan kehidupan yang baik, sejahtera dan kebahagiaan,
disebaliknya orang yang zalim, munafiq, fasiq dan kufur (kafir) diancam dengan
hukuman kehinaan dan kebinasaan (azab dan seksa yang amat pedih). Hukum Tuhan
pasti berlaku terhadap kebaikan seseorang yang taat kepada Tuhan dan kehinaan
keatas mereka yang durhaka kepada Tuhan. Maka yang dimaksudkan reaksi waktunya
lebih panjang dari umur manusia kerana
tidak dapat dibuktikan oleh pengamatan akal yang bersifat manusiawi dan dengan
ekperimen.
3.2.
Saran
Dalam makalah ini penulis memiliki harapan agar pembaca memberikan
kritik dan saran yang membangun. Karena penulis sadar dalam penulisan makalah
ini terdapat begitu banyak kekurangan.
Selain itu, penulis juga menyarankan setelah membaca makalah ini kita semua dapat lebih memahami tentang hakikat
IPTEKS dalam pandangan islam.
ka boleh minta daftar pustaka nya ga?
BalasHapusKak ini daftar pustakanya ga ada?
BalasHapusKa boleh minta dapus nya gak
BalasHapus