Minggu, 17 Mei 2015

HAKIKAT IPTEKS DALAM PANDANGAN ISLAM

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.  Konsep IPTEKS dan peradaban muslim
2.1.1.      Integrasi Amal, Ilmu, Amal dan Definisi IPTEKS
Istilah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) sering diterjemahkan menjadi science and technology. Namun sesungguhnya, menurut perspektif filsafat ilmu dan pengetahuan memiliki makna yang berbeda. Pengetahuan yang dalam bahasa inggris disebut dengan knowledge, adalah segala sesuatu yang diketahui manusia melalui tahapan panca indra, intuisi, dan firasat. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasikan, diorganisasi,disistemasitisasi, dan diinterpretasi, sehingga menghasilkan kebenaran yang objektif, sudah diuji kebenarannya dan dapat diuji ulang secara ilmiah (webter’s dictionary science). Menurut pandangan dunia Timur (Arab) yang dalam hal ini diwakili Al-Gazali, ilmu didefinisikan sebagai cahaya dalam hati (Al – ilmu Nurun fil Qulbi). Dalam surat al- Rahman 1-13 mendefinisikan ilmu sebagai rangkaian keteranagn teratur dari Allah menurut Sunah Rasul yang menerangkan semesta kehidupan yang tergantung kepada Allah. Dala sejarah islam, tercatat banyak sekali ilmuwan muslim yang ahli dalam berbagai bidang kajian ilmu. Beberapa yang bisa disebut antara lain Ibnu Rusyid, Ibnu Sina, Al –Razi, Al-Khwarizmi dan lain-lain, adalah sosok yang disamping sebagai filosof, mereka juga ahli kedokteran, astronomi, metematika, fisika dan sebagainya. Jika teknologi diimbangi dengan ilmu, maka sesungguhnya ia merupakan aktivitas atau produk dari iman, yaitu hasil amaliyah bil arkan. Seni adalah ungkapan akal dan budi manusia dengan segala prosesnya. Menurut Sabda Nabi, “Innallaha jamilun wa yuhibbul Jamaal”, Allah itu indah dan menyukai keindahan.


2.1.2.      Syarat-syarat ilmu
Dari sudut pandang filsafat, ilmu lebih khusus dari pengetahuan. Suatu pengetahuan dapat dikatagorikan sebagai ilmu apabila memenuhi tiga unsur pokok, yaitu:
·         Ontologi, yaitu suatu bidang study yang memiliki objek study yang jelas. Subjek studi tersebut harus dapat diindentifikasikan, diberi batasan, diuraikan, dan sifat-sifatnya essensial. Objek studi sebuah ilmu ada dua, yaitu objek material dan objek formal.
·         Askiologi, yaitu suatu bidang studi yang memiliki nilai guna atau kemanfaatan. Ia dapat menunjukkan nilai-nilai teoritis, hukum-hukum, generalisasi, kecenderungan umum, konsep-konsep, dan kesimpulan-kesimpulan logis, sistematis dan koheren. Dalam teori dan konsep tersebut tidak terdapat kerancuan dan kesemerawutan pikiran atau kopntradiksi antara yang satu dengan yang lain.
·         Epistimologi, yaitu uatu bidang studi yang memiliki metode kerja yang jelas. Ada dua metode kerja suatu bidang studi, yaitu deduksi dan induksi.
Dalam pemikiran sekuler, sains memiliki tiga karakteristik, yaitu objektif, netral, dan bebas nilai. Sedangkan dalam pemikiran islam, sains tidak boleh bebas dari nilai-nilai, baik nilai local maupun nilai universal. Ia harus dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kebahagiaan manusia dan kelestariamn ekologis untuk tujuan rahmatan lil ‘alamin (Q.S al Anbiya 107).
2.1.3.      Sumber Ilmu Pengetahuan
Dalam pemikiran islam ada dua sumber ilmu, yaitu wahyu dan akal. Islam sendiri menegaskan bahwa, ad-dinu huwa al-‘alq wa laa diina liman laa ‘ aqla lahu (agama adalah akal dan tidak ada agama bagi yang tidak berakal)


2.1.4.      Keutaman Orang Berilmu
Manusia adalah satu-satunya mahluk Allah yang diberi anugrah akal oleh Allah. Oleh karena itu sudah sepantasnya jika manusia berkewajiban untukmengagungkan dan mengoptimalkan potensi dengan sebaik-baiknya.
Al-Qur’an bahkan membedakan orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu (QS. 39:9). Ayat tersebut mengatakan: katakanlah, adakah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah orang yang dapat menerima pelajaran. Demikian juga Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu apabila orang orang tersebut beriman. (QS 58:11)
Di samping itu, Rasulullah SAW banyak memberikan perumpamaan tentang keutamaan orang yang berilmu dengan sabdanya, bahwa: mereka adalah pewaris para nabi, pada hari kiamat darah mereka ditimbang dengan darah syuhada, dan darah orang yang berilmu dilebihkan Darah darah syuhada. Nabi juga menyarankan umatnya untuk tidak berhenti mencari ilmu kapan dan dimanapun mereka berada, lewat sabdanya : Carilah ilmu walaupun di negeri China, mencari ilmu wajib bagi muslim laki-laki dan perempuan sejak dari ayunan sampai ke liang lahat. Bagi orang berilmu, yang melandaskan keilmuannya dengan keimanan , pengembangan, dan pemanfaatan IPTEK dan seni tidaklah ditunjukan sebagai tuntunan hidup semata, tetapi juga merupakan refleksi dari ibadah kepada Allah. Oleh karena itu, hasil-hasil kemajuan IPTEK akan dikembangkan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk tujuan Rahmatan lil alamin. (QS.21:107)
2.1.5.      Tanggung Jawab Ilmuwan terhadap Alam dan Lingkungan
Proses dehumanisasi dan terancamnya keseimbangan ekologi dan kelestarian alam,merupakan imbas negatif dari kemajuan IPTEKS. Dalam QS. Ar-Rum 45 disebutkan : telah timbul kerusakan di daratan dan dilautan karena ulah tangan manusia.
Oleh karena itu, ilmuwan tidak cukup hanya dengan ilmu saja,tetapi harus dibekal dengan iman dan takwa. Ilmuwan yang beriman dan bertakwa akan memanfaatkan kemajuan IPTEK untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan kelangsungan hidup manusia dan keseimbangan ekologi dan bukan untuk fasad fil ardhi.
2.2.  Hubungan antara ilmu, agama, dan budaya
2.2.1.      Hubungan Agama dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi memang berdampak positif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai sarana modern industri, komunikasi, dan transportasi, misalnya, terbukti amat bermanfaat. Dahulu Ratu Isabella (Italia) di abad XVI perlu waktu 5 bulan dengan sarana komunikasi tradisional untuk memperoleh kabar penemuan benua Amerika oleh Columbus. Tapi di sisi lain, tidak jarang iptek berdampak negatif karena merugikan dan membahayakan kehidupan dan martabat manusia. Bom atom telah menewaskan ratusan ribu manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Lingkungan hidup seperti laut, atmosfer udara, dan hutan juga tak sedikit mengalami kerusakan dan pencemaran yang sangat parah dan berbahaya. Beberapa varian tanaman pangan hasil rekayasa genetika juga diindikasikan berbahaya bagi kesehatan manusia. Tak sedikit yang memanfaatkan teknologi internet sebagai sarana untuk melakukan kejahatan dunia maya (cyber crime) dan untuk mengakses pornografi, kekerasan, dan perjudian (Ahmed, 1999 )
Di sinilah, peran agama sebagai pedoman hidup menjadi sangat penting untuk ditengok kembali. Dapatkah agama memberi tuntunan agar kita memperoleh dampak iptek yang positif saja, seraya mengeliminasi dampak negatifnya semiminal mungkin (Ahmed, 1999).
Ada beberapa kemungkinan hubungan antara agama dan iptek:
a)      berseberangan atau bertentangan,
b)      bertentangan tapi dapat hidup berdampingan secara damai,
c)      tidak bertentangan satu sama lain,
d)     saling mendukung satu sama lain, agama mendasari pengembangan iptek atau iptek mendasari penghayatan agama.
Pola hubungan pertama adalah pola hubungan yang negatif, saling tolak. Apa yang dianggap benar oleh agama dianggap tidak benar oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula sebaliknya. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek akan menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran agama dan pendalaman agama dapat menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran ilmu pengetahuan. Orang yang ingin menekuni ajaran agama akan cenderung untuk menjauhi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh manusia. Pola hubungan pertama ini pernah terjadi di zaman Galileio-Galilei. Ketika Galileo berpendapat bahwa bumi mengitari matahari sedangkan gereja berpendapat bahwa matahari lah yang mengitari bumi, maka Galileo dipersalahkan dan dikalahkan. Ia dihukum karena dianggap menyesatkan masyarakat (Furchan, 2009).
Pola hubungan ke dua adalah perkembangan dari pola hubungan pertama. Ketika kebenaran iptek yang bertentangan dengan kebenaran agama makin tidak dapat disangkal sementara keyakinan akan kebenaran agama masih kuat di hati, jalan satu-satunya adalah menerima kebenaran keduanya dengan anggapan bahwa masing-masing mempunyai wilayah kebenaran yang berbeda. Kebenaran agama dipisahkan sama sekali dari kebenaran ilmu pengetahuan. Konflik antara agama dan ilmu, apabila terjadi, akan diselesaikan dengan menganggapnya berada pada wilayah yang berbeda. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek tidak dikaitkan dengan penghayatan dan pengamalan agama seseorang karena keduanya berada pada wilayah yang berbeda. Baik secara individu maupun komunal, pengembangan yang satu tidak mempengaruhi pengembangan yang lain. Pola hubungan seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler yang sudah terbiasa untuk memisahkan urusan agama dari urusan negara/masyarakat (Furchan, 2009).
Pola ke tiga adalah pola hubungan netral. Dalam pola hubungan ini, kebenaran ajaran agama tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan tetapi juga tidak saling mempengaruhi. Kendati ajaran agama tidak bertentangan dengan iptek, ajaran agama tidak dikaitkan dengan iptek sama sekali. Dalam masyarakat di mana pola hubungan seperti ini terjadi, penghayatan agama tidak mendorong orang untuk mengembangkan iptek dan pengembangan iptek tidak mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama. Keadaan seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler. Karena masyarakatnya sudah terbiasa dengan pemisahan agama dan negara/masyarakat, maka. ketika agama bersinggungan dengan ilmu, persinggungan itu tidak banyak mempunyai dampak karena tampak terasa aneh apabila dikaitkan (Furchan, 2009).
Pola hubungan yang ke empat adalah pola hubungan yang positif. Terjadinya pola hubungan seperti ini mensyaratkan tidak adanya pertentangan antara ajaran agama dan ilmu pengetahuan serta kehidupan masyarakat yang tidak sekuler. Secara teori, pola hubungan ini dapat terjadi dalam tiga wujud: ajaran agama mendukung pengembangan iptek tapi pengembangan iptek tidak mendukung ajaran agama, pengembangan iptek mendukung ajaran agama tapi ajaran agama tidak mendukung pengembangan iptek, dan ajaran agama mendukung pengembangan iptek dan demikian pula sebaliknya (Furchan, 2009).
Hubungan Agama dan Pengembangan Iptek Dewasa Ini
Pola hubungan antara agama dan iptek di Indonesia saat ini baru pada taraf tidak saling mengganggu. Pengembangan agama diharapkan tidak menghambat pengembangan iptek sedang pengembangan iptek diharapkan tidak mengganggu pengembangan kehidupan beragama. Konflik yang timbul antara keduanya diselesaikan dengan kebijaksanaan (Furchan, 2009).
Dewasa ini iptek menempati posisi yang amat penting dalam pembangunan nasional jangka panjang ke dua di Indonesia ini. Penguasaan iptek bahkan dikaitkan dengan keberhasilan pembangunan nasional. Namun, bangsa Indonesia juga menyadari bahwa pengembangan iptek, di samping membawa dampak positif, juga dapat membawa dampak negatif bagi nilai agama dan budaya yang sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang telah memilih untuk tidak menganut faham sekuler, agama mempunyai kedudukan yang penting juga dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itulah diharapkan agar pengembangan iptek di Indonesia tidak akan bertabrakan dengan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa (Furchan, 2009).
Kendati pola hubungan yang diharapkan terjadi antara agama dan iptek secara eksplisit adalah pola hubungan netral yang saling tidak mengganggu, secara implisit diharapkan bahwa pengembangan iptek itu dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh nilai-nilai agama. Ini merupakan tugas yang tidak mudah karena, untuk itu, kita harus menguasai prinsip dan pola pikir keduanya (iptek dan agama) (Furchan, 2009).
2.2.2.      Hubungan Agama dengan Kebudayaan
Sistem religi merupakan salah satu unsur kebudayaan universal yang mengandung kepercayaan dan perilaku yang berkaitan dengan kekuatan serta kekuasaan supernatural. Sistem religi ada pada setiap masyarakat sebagai pemeliharaan kontrol sosial (Sutardi, 2007).
Sebagai salah satu unsur kebudayaan yang universal, religi dan kepercayaan terdapat di hamper semua kebudayaan masyarakat. Religi meliputi kepercayaan terhadap kekuatan gaib yang lebih tinggi kedudukannya daripada manusia dan mencangkup kegiatan- kegiatan yang dilakukan manusia untuk berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan- kekuatan gaib tersebut. Kepercayaan yang lahir dalam bentuk religi kuno yang dianut oleh manusia sampai masa munculnya agama- agama. Istilah agama maupun religi menunjukkan adanya hubungan antara manusia dan kekuatan gaib di luar kekuasaan manusia, berdasarkan keyakinan dan kepercayaan menurut paham atau ajaran agama (Sutardi, 2007).
Agama sukar dipisahkan dari budaya karena agama tidak akan dianut oleh umatnya tanpa budaya. Agama tidak tersebar tanpa budaya, begitupun sebaliknya, budaya akan tersesat tanpa agama (Sutardi, 2007).
Sebelum ilmu antropologi berkembang, aspek religi telah menjadi pokok perhatian para penulis etnografi. Selanjutnya, ketika himpunan tulisan mengenai adat istiadat suku bangsa di luar eropa berkembang denganluas dan cepat melalui dunia ilmiah, timbul perhatian terhadap upacara keagamaan. Perhatian tersebut disebabkan hal-hal berikut: upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang tampak secara lahiriah, dan bahan etnografi mengenai upacara keagamaan yang diperlukan dalam menyusun teori-teori tentang asal-usul suatu kepercayaan (Sutardi, 2007).
Mengenai soal agama, Pater Jan Bakker menyatakan bahwa filsafat kebudayaan tidak menanggapi agama sebagai kategori insane semata-mata, karena bagi filsafat ini agama merupakan keyakinan hidup rohani pemeluknya; merupakan jawab manusia kepada panggilan ilahi dan di sini terkandung apa yang disebut iman. Iman tidak berasal dari suatu tempat ataupun pemberian makhluk lain. Iman ini asalnya dari Tuhan, sehingga nilai-nilai yang mincul dari daya iman ini tidak dapat disamakan dengan karya-karya kebudayaan yang lain, sebab karya tersebut berasal dari Tuhan. Agama sebagai sistem objektif terkandung unsur-unsur kebudayaan (Bakker, 1984).
Yang jelas dalam ilmu antropologi memang agama menjadi salah satu unsur kebudayaan. Dalam hal ini para ahli antropologi tidak berbicara soal iman, sebab secara empiris iman tidak dapat dilihat (Bakker, 1984).
Perilaku Religi dalam Masyarakat
Agama memiliki posisi yang cukup signifikan dalam kehidupan bermasyarakat. Negara mengakui keberadaan agama dan melindungi kebebasan masyarakat dalam melaksanakan ajaran agamanya (Sutardi, 2007).
Pada saat ini, adanya kebebasan dan keterbukaan memberikan ruang yang besar bagi masyarakat untuk mengamalkan ajarana agama sebaik mungkin. Semangat otonomi daerah yang memberikan keleluasan dan berpartisipasi dalam mengurus daerahnya masing- masing memberi peluang untuk mengangkat ajaran agama sebagai ruh pengelolaan pemerintahan. Ajaran agama dikemas sebagai dasar pengaturan pemerintahan yang mengatur kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai yang diangkat merupakan nilai-nilai kebaikan universal yang juga diakui oleh agama lain (Sutardi, 2007).
Ajaran agama ketika disandingkan dengan nilai-nilai budaya lokal di era desentralisasi dapat diserap untuk dijadikan pengangan kehidupan bermasyarakat. Hal ini dapat dilihat dengan diberikannya otonomi khusus kepada Aceh yang dikenal dengan Nanggroe Aceh Daussalam. Agama dan budaya di NAD sudah melebur dan tidak bisa dipisahkan sejak dahulu, ketika kerajaan Islam masih ada di wilayah tersebut. Dengan otonomi khusus ini hokum pidana Islam kembali dihidupkan sehingga masyarakat merasakan keadilan sesuai dengan keyakinannya. Hal ini menjadi awal yang baik dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat dengan mengangkat agama dan budaya yang ada di masyarakat tersebut (Sutardi, 2007).
Pada masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi leluhurnya, perilaku keagamaan juga memberikan dampak yang cukup berarti. Hal ini dapat dilihat pada masyarakat Suku Toraja di Sulawesi Selatan. Masyarakat Suku Toraja mempercayai bahwa kematian merupakan awal menuju kehidupan yang kekal. Itu sebabnya dalam budaya Toraja dikenal pemeo ‘hidup manusia adalah untuk mati’. Artinya, setelah mati, manusia akan menuju kehidupan yang kekal di nirwana. Untuk mencapai nirwana, seseorang yang meninggal harus membawa bekal harta sebanyak-banyaknya. Nyawa orang yang meninggal juga akan diantar ke surge dengan pesta yang semarak. Semakin banyak benda yang dibawa si mayat, semakin bahagia hidupnya di alam baka (Sutardi, 2007).
Dari ilustrasi tersebut dapat dikatakan bahwa perilaku keagamaan dapat memberikan dampak dalam kehidupan bermasyarakat. Orang-orang Toraja sampai saat ini dikenal memiliki kebiasaan menabung dan bersikap hidup hemat agar nantinya dapat menyelenggarakan upacara kematian yang meriah. Mereka menganggap anak keturunan berkewajiban memperlakukan leluhurnya dengan baik sebab dengan begitu, sang leluhur juga akan melimpahkan rejeki dan menjaga keturunannya dengan baik pula (Sutardi, 2007).
2.3.  Hukum sunnatullah
Sunnatullah, di dunia moden yang sekular dipanggil law of nature bermacam-macam persepsi dari kalangan  manusia,  muslim atau non muslim terhadap hukum yang berlaku kepada alam dan isi kandunganya, ini menggambarkan begitu dangkal akal  yang tidak  mendapat petunjuk Ilahy mengenal pencipta alam ini dan undang-undang yang berlaku didalamnya. Al-Qur'an memberikan mesej yang jelas, bahawa hukum yang berlaku di alam ini diatur oleh Allah s.w.t yang dipanggil sunnatullah dan ia bukan dari anggapan sebahagian manusia  sebagai hukum semula jadi yang tiada penghujungnya itu.
Persepsi yang terkeluar dari menda yang  dicetak oleh hukum sekular (keduniaan) yang  menyembah mindanya sendiri. Maka beberapa perkara yang amat perlu diperhatikan untuk sama-sama kita renungkan, setidak-tidaknya ada tiga persepsi tentang sunnatullah dari golongan manusia. Pertama patuh secara terpaksa, kedua, patuh sebahagian dan kufur kepada sebahagian yang lain, ketiga  patuh secara sukarela.
Golongan  pertama adalah mereka yang kufur dan tidak segan silu mengenkari undang-undang Allah dan buta mata hatinya terhadap hukum pertumbuhan jasadnya dan apa yang berlaku kepada dirinya, mereka ini kufur dari ketentuan Allah terhadap hukum yang berlaku kepada dirinya dan pertumbuhan jasadnya. Golongan ke dua, mereka secara sedar atau tidak atau disebabkan kejahilan tidak memperhatikan hukum pertumbuhan yang berlaku kepada jasadnya, lantas dengan segala kekeliruanya engkar tehadap hukum Allah s.w.t. Golongan ketiga mereka yang patuh dengan penuh keimanan dan ketaqwaan, selalu memperhatikan apa yang berlaku kepada alam ini, mereka sesungguhnya meyakini sepenuhnya pada dirinya dan hukum pertumbuhan serta perubahan pada jasadnya, kesemuanya dari sunnatullah.
 Hukum-hukum yang serba tetap yang mengatur alam ini, maka sesungguhnya itulah hukum Allah s.w.t. apa yang diistilahkan  Sunnatullah.
Kenyataaan ini diperkukuhkan oleh Al Qur'an. Firman Allah yang bermaksud
" Dan Allah mencipta tiap-tiap sesuatu, lalu ditetapkan padanya hukum- hukumnya" (Q.S Al Furqan:2)
Dalam ayat yang lain ada dinyatakan. Firman Allah yang bermaksud :
" Sesungguhnya kami (Allah) telah mencipta segala sesuatu dengan ketentuan yang pasti" (AlQamar:49)
Hukum-hukum Allah pada makhluknya ada dua jenis yang bertulis dan tidak tertulis. Hukum Allah yang tertulis itu yang diwahyukannya kepada para Nabi dan Rasul terhimpun dalam kitab -kitab suci yang empat dan yang terakhir ialah Al Qur'an. Ciri-ciri khas hukum Allah tertulis ini reaksi waktunya ( time response) lebih panjang, mungkin lebih panjang dari usia manusia dan tidak dapat diketahui secara ekperimen menurut persayaratan ilmu. Umpamanya orang yang beriman, beribadah dan yang bertaqwa dijanjikan kehidupan yang baik, sejahtera dan kebahagiaan, disebaliknya orang yang zalim, munafiq, fasiq dan kufur (kafir) diancam dengan hukuman kehinaan dan kebinasaan (azab dan seksa yang amat pedih). Hukum Tuhan pasti berlaku terhadap kebaikan seseorang yang taat kepada Tuhan dan kehinaan keatas mereka yang durhaka kepada Tuhan. Maka yang dimaksudkan reaksi waktunya lebih  panjang dari umur manusia kerana tidak dapat dibuktikan oleh pengamatan akal yang bersifat manusiawi dan dengan ekperimen.
Hukum Tuhan yang tidak tertulis ciri-ciri khasnya ialah reaksi waktu (time response) pendek dari usia manusia, ia boleh dilakukan penelitian dan  ekperimen selain itu ia tidak melibatkan manusia. Contoh air yang mendidih 100°C. Jika satu liter air dimasak memerlukan waktu 10 menit untuk mendidih, maka yang 10 minit itulah disebut reaksi waktu yang jauh lebih pendek dari umur manusia, sehingga  didih air dapat diketahui dengan mengukur suhu air itu mendidih, begitu juga  hukum gaya berat gravitasi, dan semuanya ini tidak diwahyukan Allah dalam Al Qur'an. Hikmahnya supaya manusia menggunakan anugerah Tuhan amat istimewa yang bernama akal itu akan perlu adanya  ekperimen atau pengembangan ilmu dan teknologi. Sekiranya Allah itu mewahyukan semua hukum-hukumnya, maka tentulah manusia itu diciptakan serupa dengan robot dan tidak dinamik lagi.
Maka inilah dinamakan hukum Allah itu pasti (exact), objektif dan tetap. Hukum-hukum Allah itu tidak pernah berubah sejak diciptakan alam semesta ini, dan tidak akan berubah sampai hancurnya alam ini (kiamat besar). Sejak diciptakan, misalnya air mengalir tentunya dari tempat tinggi ke tempat rendah, tetapi tidak pula disebaliknya. Demikian juga dalam keadaan biasa tidak pernah air itu mendidih dalam keadaan suhu 10°C tapi selalu dalam suhu 100°C. Sebelum Newton  lahir, setiap batu yang diangkat kemudian dilepaskan tidak pernah melayang-layang,  tetapi ia jatuh dengan mudah. Hukum gravitasi adalah hukam Allah s.w.t. yang pertama kali dipopulerkan oleh Newton(1642-1727) seorang filosuf dan Ilmuan Barat (Inggeris.)
Firman Allah s.w.t yang bermaksud :
" Yang demikian adalah Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu dan kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan bagi Sunnatullah itu."(Q.S Al Fath :23)
Dalam ayat yang lain. Allah berfirman yang bermaksud  :
" Anda tidak akan menjumpai dalam ciptaan Allah itu sebuah kekacauan, maka lihatlah sekali lagi adakah kamu temui padanya  kecacatan." ( Q. S Al Mulk: 3)
Oleh itu Allah selalu mengingatkan manusia supaya memperhatikan alam, juga memerintahkan manusia supaya membuat penelitian terhadap alam semesta dengan segala isi kandungannya dengan segala rendah hati bukan secara yang sombong angkuh dengan ilmu dan teknologi yang dimiliki, betapa Allah telah menciptanya segala benda-benda tersebut berlaku secara teratur, sedikitpun tidak terdapat sesuatu yang kacau dan cacat kecuali yang merosakkan adalah terdiri makhluk yang bernama manusia samada kecacatan itu berlaku didarat atau dilautan, semuanya hasil dari perbuatan jahat manusia.
Maka oleh kerana alam semesta dengan seluruh isi kandungannya taat atau patuh dan tunduk kepada Allah, maka menurut tata bahasa dan secara literal Al Qur'an samada kepatuhan itu secara terpaksa dalam bentuk kekufuran (ingkar) yang cuba mempertikaikan kekuasaan Allah s.w.t atau patuh dengan penuh rasa keimanan dan ketakwaan, maka seluruh alam ini adalah muslim adanya.
Sunnatullah dari segi bahasa terdiri dari kata sunnah dan Allah. Kata sunnah antara lain berarti "kebiasaan". Jadi sunnatullah adalah kebiasaan-kebiasaan Allah dalam memperlakukan masyarakat. Dalam Al-Qur'an kata sunnatullah dan yang semakna dengannya seperti sunnatuna, dan sunnatul Awwalin, kesemuanya berbicara dalam konteks kemasyarakatan. Perlu diingat bahwa apa yang dinamai hukum-hukum alam pun adalah kebiasaan-kebiasaan yang dialami manusia, dan dari ikhtisar pukul rata statistik tentang kebiasaan-kebiasaan itu, para pakar merumuskan hukum-hukum alam. Kebiasaan itu dinyatakan Allah sebagai tidak beralih (al-Isra, 17:77) dan tidak pula berubah (al-Fath, 48:23), dan berganti juga tidak (al-Ahzab, 33:62). Karena sifatnya demikian, maka ia dapat dinamai "hukum-hukum kemasyarakatan" atau ketetapan-ketetapan Allah menyangkut situasi masyarakat.
Menurut beberapa ayat Al-Qur'an, seperti al-Isra, 17:77; al-Fath, 48:23; al-Ahzab, 33:62; ada keniscayaan bagi sunnatullah (hukum-hukum kemasyarakatan) itu, tidak ubahnya dengan hukum-hukum alam atau yang berkaitan dengan materi. Hukum-hukum alam sebagaimana hukum kemasyarakatan bersifat umum dan pasti, tidak satupun di negeri manapun orang dapat terbebaskan dari sanksi bila melanggarnya. Hukum-hukum itu tidak memperingatkan siapa yang melanggarnya dan sanksinya pun membisu sebagaimana membisunya hukum itu sendiri. Masyarakat dan jenis manusia yang tidak membedakan antara yang haram dan yang halal akan terbentur oleh malapetaka, ketercabikan, dan kematian. Ini semata-mata adalah sanksi otomatis, karena kepunahan adalah akhir dari semua mereka yang melanggar hukum alam/ kemasyarakatan.
Al-Qur'an berbicara tentang sunnatullah dalam konteks perubahan sosial, yaitu al-Anfal, 8:53; dan al-Ra'd, 13:11. kedua ayat diatas berbicara tentang perubahan, ayat pertama berbicara tentang perubahan nikmat, sedang ayat kedua yang menggunakan kata "ma" (apa) berbicara tentang perubahan apapun, baik dari nikmat (positif) menuju niqmah (negatif, murka Ilahi) maupun dari negatif ke positif.





BAB III
PENUTUP
3.1.  Kesimpulan
A.    Konsep IPTEKS dan peradaban muslim
·         Integrasi Amal, Ilmu, dan Definisi IPTEKS
·         Syarat – syarat ilmu
·         Sumber ilmu pengetahuan
·         Keutamaan orang berilmu
·         Tanggung jawab ilmuwan terhadap alam dan lingkungan
B.     Hubungan ilmu, agama, dan budaya
·         Hubungan Agama dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi memang berdampak positif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai sarana modern industri, komunikasi, dan transportasi, misalnya, terbukti amat bermanfaat. Dahulu Ratu Isabella (Italia) di abad XVI perlu waktu 5 bulan dengan sarana komunikasi tradisional untuk memperoleh kabar penemuan benua Amerika oleh Columbus. Tapi di sisi lain, tidak jarang iptek berdampak negatif karena merugikan dan membahayakan kehidupan dan martabat manusia. Bom atom telah menewaskan ratusan ribu manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Lingkungan hidup seperti laut, atmosfer udara, dan hutan juga tak sedikit mengalami kerusakan dan pencemaran yang sangat parah dan berbahaya. Beberapa varian tanaman pangan hasil rekayasa genetika juga diindikasikan berbahaya bagi kesehatan manusia. Tak sedikit yang memanfaatkan teknologi internet sebagai sarana untuk melakukan kejahatan dunia maya (cyber crime) dan untuk mengakses pornografi, kekerasan, dan perjudian (Ahmed, 1999 )
Di sinilah, peran agama sebagai pedoman hidup menjadi sangat penting untuk ditengok kembali. Dapatkah agama memberi tuntunan agar kita memperoleh dampak iptek yang positif saja, seraya mengeliminasi dampak negatifnya semiminal mungkin (Ahmed, 1999).
Ada beberapa kemungkinan hubungan antara agama dan iptek:
a)      berseberangan atau bertentangan,
b)      bertentangan tapi dapat hidup berdampingan secara damai,
c)      tidak bertentangan satu sama lain,
d)     saling mendukung satu sama lain, agama mendasari
·         Hubungan Agama dengan Kebudayaan
Sistem religi merupakan salah satu unsur kebudayaan universal yang mengandung kepercayaan dan perilaku yang berkaitan dengan kekuatan serta kekuasaan supernatural. Sistem religi ada pada setiap masyarakat sebagai pemeliharaan kontrol sosial (Sutardi, 2007).
Sebagai salah satu unsur kebudayaan yang universal, religi dan kepercayaan terdapat di hamper semua kebudayaan masyarakat. Religi meliputi kepercayaan terhadap kekuatan gaib yang lebih tinggi kedudukannya daripada manusia dan mencangkup kegiatan- kegiatan yang dilakukan manusia untuk berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan- kekuatan gaib tersebut. Kepercayaan yang lahir dalam bentuk religi kuno yang dianut oleh manusia sampai masa munculnya agama- agama. Istilah agama maupun religi menunjukkan adanya hubungan antara manusia dan kekuatan gaib di luar kekuasaan manusia, berdasarkan keyakinan dan kepercayaan menurut paham atau ajaran agama (Sutardi, 2007).
Agama sukar dipisahkan dari budaya karena agama tidak akan dianut oleh umatnya tanpa budaya. Agama tidak tersebar tanpa budaya, begitupun sebaliknya, budaya akan tersesat tanpa agama

C.    Hukum sunnatullah
Sunnatullah, di dunia moden yang sekular dipanggil law of nature bermacam-macam persepsi dari kalangan  manusia,  muslim atau non muslim terhadap hukum yang berlaku kepada alam dan isi kandunganya, ini menggambarkan begitu dangkal akal  yang tidak  mendapat petunjuk Ilahy mengenal pencipta alam ini dan undang-undang yang berlaku didalamnya. Al-Qur'an memberikan mesej yang jelas, bahawa hukum yang berlaku di alam ini diatur oleh Allah s.w.t yang dipanggil sunnatullah dan ia bukan dari anggapan sebahagian manusia  sebagai hukum semula jadi yang tiada penghujungnya itu.
Hukum-hukum Allah pada makhluknya ada dua jenis yang bertulis dan tidak tertulis. Hukum Allah yang tertulis itu yang diwahyukannya kepada para Nabi dan Rasul terhimpun dalam kitab -kitab suci yang empat dan yang terakhir ialah Al Qur'an. Ciri-ciri khas hukum Allah tertulis ini reaksi waktunya ( time response) lebih panjang, mungkin lebih panjang dari usia manusia dan tidak dapat diketahui secara ekperimen menurut persayaratan ilmu. Umpamanya orang yang beriman, beribadah dan yang bertaqwa dijanjikan kehidupan yang baik, sejahtera dan kebahagiaan, disebaliknya orang yang zalim, munafiq, fasiq dan kufur (kafir) diancam dengan hukuman kehinaan dan kebinasaan (azab dan seksa yang amat pedih). Hukum Tuhan pasti berlaku terhadap kebaikan seseorang yang taat kepada Tuhan dan kehinaan keatas mereka yang durhaka kepada Tuhan. Maka yang dimaksudkan reaksi waktunya lebih  panjang dari umur manusia kerana tidak dapat dibuktikan oleh pengamatan akal yang bersifat manusiawi dan dengan ekperimen.
3.2.  Saran
Dalam makalah ini penulis memiliki harapan agar pembaca memberikan kritik dan saran yang membangun. Karena penulis sadar dalam penulisan makalah ini terdapat begitu banyak kekurangan.
Selain itu, penulis juga menyarankan setelah membaca makalah ini  kita semua dapat lebih memahami tentang hakikat IPTEKS dalam pandangan islam.






3 komentar: